II. Pokok Pemikiran Jalaluddin Arrumi Dalam Tarekat yang dipimpinnya
Ajaran-ajaran Rumi ini,
pada dasarnya dapat dirangkum dalam trilogi metafisik, yaitu Tuhan, Alam
dan Manusia.[6]
1. Ajaran
Maulana Rumi tentang Tuhan
Pada gilirannya telah
dikembangkan dari pernyataan Al-Quran sendiri yang menyatakan bahwa Tuhan
adalah “Yang Awal, Yang Akhir, Yang Lahir, Yang Batin”. Tuhan “Yang Awal” bagi
Rumi, berarti bahwa Ia adalah sumber yang dari-Nya segala sesuatu berasal.
Semua manusia yang tinggal di bumi ini berasal dari Tuhan, walaupun kini ia
telah melakukan perjalanan atau pengembaraannya yang jauh. Begitu jauhnya
mereka mengembara, sehingga banyak diantara manusia yang melupakan Tuhannya.
Beralih kepada Tuhan
sebagai “Yang Akhir”. Ini diartikan sebagai tempat kembali segala yang ada di
dunia ini. Rumi juga termasuk sufi yang memandang Tuhan sebagai keindahan.
Sebuah hadist mengatakan bahwa Tuhan itu Maha Indah, dan mencintai keindahan.
Tentu saja sebagai yang Maha Indah, Tuhan adalah tujuan dari semua jiwa yang
mencinta.
Tuhan sebagai “Yang
Lahir”, bagi Rumi dunia yang lahir adalah fenomena, yang menyimpan
didalamnya realitas yang sejati. Dengan demikian dunia lahir adalah petunjuk
bagi adanya yang batin. Bagi Rumi tak mungkin ada yang lahir tanpa ada yang
batin. Jadi sekalipun yang lahir, sepintas lalu berbeda dengan yang batin,
tetapi yang lahir merupakan jalan menuju realitas yang tersembunyi di dalamnya.
Dengan demikian, Tuhan
sebagai “Yang Batin”, adalah realitas yang lebih mendasar, sekalipun untuk
dapat memahaminya kita memerlukan mata lain yang lebih peka. Jadi tidak semua
orang dapat melihat kecantikan Tuhan yang tersembunyi di balik fenomena alam.
Kebanyakan kita adalah pemerhati fenomena dank arena itu tidak bisa melihat
keindahan batin yang tersembunyi di balik fenomena lahiriah alam.
2. Konsep Rumi tentang alam semesta
Bahwa motif penciptaan alam oleh Tuhan adalah
cinta. Cintalah yang telah mendorong Tuhan mencipta alam, sehingga cinta Tuhan
merembas,sebagai napas Rahmani, kepada seluruh partikel alam, dan
menghidupkannya, sehingga berbalik mencintai sang penciptanya. Bagi Rumi alam
bukanlah benda mati, tetapi hidup, berkembang bahkan memiliki kecerdasan,
sehingga mampu mencintai dan dicintai, berkat sentuhan cinta Tuhan, maka ia
menjadi makhluk yang hidup, bergerak penuh energy kearah Tuhan sebagai yang
Maha baik dan Sempurna dan cintailah alam, niscaya alampun akan memberikan yang
terbaik. Bagi Mawlana, alam bukanlah makhluk mati tetapi hidup, berkembang
bahkan memiliki kecerdasan sehingga mampu mencintai dan dicintai. Dalam
salah sati syairnya, Rumi pernah menggambarkan hubungan langit dan bumi seperti
sepasang suami-istri.[7]
3. Konsep Rumi tentang manusia
Manusia memiliki posisi
yang sangat istimewa baik dengan kaitannya dengan alam maupun dengan Tuhan.
Dengan kaitannya dengan alam, Rumi memandang manusia adalah tujuan penciptaan
alam yakni sebagai tempat beribadah bagi manusia. Dan dalam kaitannya dengan Tuhan,
manusia menempati posisi yang tinggi sebagai wakil-Nya di muka bumi.
Ajaran Jalal al-Din Rumi
lainnya yang sangat menarik tentang manusia adalah kebebasan memilih bagi
manusia. Kebebasan memilih ini sangat penting bagi perkembangan dan aktualitas
diri manusia. Manusia terlahir tidak dalam keadaan yang sempurna, melainkan
lahir dengan sejuta potensi. Nah manusia perlu memiliki kebebasan memilih untuk
mengaktualkan segala potensi yang dimilikinya itu. Dengan kebebasan inilah
manusia dapat mencapai titik kesempurnaannya, sebagaiinsan kamil. Tetapi
akan kebebasan yang sama pula, manusia memiliki resiko yang besar untuk menjadi
makhluk yang terendah, kalau ia menghianati amanatnya, dengan misalnya
menyalahgunakan kebebasannya untuk menuruti hawa nafsunya.
Selain itu, Manusia juga
memiliki kemampuan untuk memahami sesuatu atau dengan kata lain mampu memiliki
ilmu pengetahuan. Pengetahuan manusia bertingkat-tingkat sesuai dengan alat
yang digunakan untuk tujuan itu. Ada pengetahuan indrawi, pengetahuan yang didasarkan
penalaran akal, dan pengetahuan melalui persepsi spiritual (intuisi).
C. Ciri Utama Tarekat
Maulawiyah
Yang membuat tarekat ini
beda adalah dakwah dengan cara menggunakan tarian-tarian yang disebut sama’ dalam
bentuk tarian berputar, dan telah menjadi ciri khas dasar bagi tarekatnya.
Akibatnya, tarekat Rumi di Barat dikenal sebagai The Whirling
Darvish (Para Darwisy yang Berputar). Tarian suci ini dimainkan oleh
para Darwish (fuqara’) dalam pertemuan-pertemuan (majlis) sebagai
dukungan eksternal terhadap upacara-upacara (ritual mereka).
Sama’ dilembagakan
Rumi pertama kali setelah hilangnya gurunya yang sangat dicintai, Syams al-Din
Tabrizi. Sejak saat itu Rumi menjadi sangat sensitif terhadap musik, sehingga
tempaan palu dari seorang pandai besi saja cukup untuk membuatnya menari dan
berpuisi.
Bagian-bagian/tahap-tahap
dalam sama’ terdiri dari dua bagian. Bagian pertama terdiri
dari Naat (sebuah puisi yang memuji Nabi Muhammad), improvisasi ney (seruling)
atau taksim dan “Lingkaran Sultan Walad”. Bagian kedua terdiri
dari empat salam, musik instrumental akhir, pembacaan ayat-ayat suci al-Quran,
dan doa. Inilah rinciannya[8] :
a. Bagian pertama
1. Naat,
Semacam musik religius. Naat dalam dalam musik mawlawi disusun oleh Buhuriz
Musthafa' Itri (1640-1712), tetapi puisinya adalah puisi Rumi.
2. Taksim.
Taksim adalah
sebuah improvisasi terhadap setiap makam atau mode, yaitu konsep penciptaan
musik yang menentukan hubungan-hubungan nada, nada awal yang memiliki kontor
dan pola-pola musik. Bagian ini merupakan bagian yang sangat kreatif dari
upacara Mawlawi.
3. Lingkaran/putaran
sultan Walad, ini disumbangkan kepada upacara oleh putra sulung mawlana, sultan
Walad. Selama putaran ini para darwisy yang ikut bagian dalam putaran tari
berjalan mengelilingi sang samahane (ruang upacara) tiga kali
dan menyapa satu sama laindi depan pos (lokasi tempat pemimpin tekke atau
pemimpin upacara berdiri). Dengan cara ini mereka menyampaikan
"rahasia" dari yang satu kepada yang lain.
b. Bagian kedua (empat
salam), yaitu:
1. Salam pertama,
melodi biasanya panjang, irama yang digunakan biasanya disebut "putaran
berjalan" (Devr-i Revan). Bitnya adalah 14/8.
2. Salam kedua, pola
irama dari salam ini disebut "Evfer" dan terdiri dari 9/8 bit.
3. Salam ketiga, dibagi
kedalam dua bagian yang meliputi melodi dan irama. Bagian pertama disebut "putaran"(The
cyicle) bitnya 28/4. bagian kedua disebut "Yoruk semai" bitnya 6/8.
4. Salam keempat, pola
irama ini juga "Efver"(9/8), yakni irama lambat dan panjang untuk
menurunkan elastasi sehingga sang darwisy bisa konsentrasi kembali. Tiap-tiap
salam dihubungkan melalui nyanyian. Padsa bagian pertama dan kedua seleksi
diambil dari Divan-i Syams atau mastnawi, pada bagian ketiga puisi mawlawi lain
dinyanyikan.
c. Musik Instrumental
Dengan berakhirnya salam
keempat berarti bagian oral selesai "yuruk semai" kedua dalam
pola-pola 6/8 adalah akhir dari upacara. Setelah seleksi instrumental ini ada
taksim seruling. Kadang-kadang musik ini dapat dimainkan melalui alat musik
petik (senar).
d. Membaca Al-Qur'an atau Doa
Setelah musik selesai, seorang hafizh di
antara para penyanyi membaca ayat-ayat al-qur'an. Sama' terus berlangsung
sampai bacaan al-Qur'an dimulai. Ketika hafizh mulai bacaan Qur'annya para
penari tiba-tiba berhenti dan mundur ke pinggir ruangan dan duduk. Setelah ia
selesai pimpinan sama' berdiri dan mulai berdoa di depan sang syaikh, doa ini
biasanya ditujukan untuk kesehatan dan hidup sang sultan atau para penguasa
negara.
-Daftar Pustaka:
[6] Mulyati, Sri. Mengenal & memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah
di Indonesia.jakarta: Kencana. 2004. Hal. 326
[7] Mulyati, Sri. Mengenal & memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah
di Indonesia.jakarta: Kencana. 2004. Hal. 328
[8] Mulyati, Sri. Mengenal & memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah
di Indonesia.jakarta: Kencana. 2004. Hal. 344
(Bersambung ke Bagian IV)
[6] Mulyati, Sri. Mengenal & memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah
di Indonesia.jakarta: Kencana. 2004. Hal. 326
[7] Mulyati, Sri. Mengenal & memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah
di Indonesia.jakarta: Kencana. 2004. Hal. 328
[8] Mulyati, Sri. Mengenal & memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah
di Indonesia.jakarta: Kencana. 2004. Hal. 344
(Bersambung ke Bagian IV)
Posting Komentar
Posting Komentar