(Khidmat Manakib di PP.Suryalaya,
Juni 2006 )
-Oleh: Ajengan KH. Moh. Ali Hanafiah Akbar
dari Surabaya-
|
Sebagian besar, kita belum mengetahui perbedaan ‘Ulama dan Mursyid. Bukalah al-Quran dan lihatlah ayat 1-2 Surat al-Baqoroh. Alqur'an ini tidak ada keraguan sedikitpun didalamnya bagi orang-orang yang bertaqwa.
Orang-orang yang bertaqwa itulah yang diberi petunjuk oleh Allah dengan al-Quran ini. Siapakah orang yang bertaqwa itu? Apakah kita termasuk orang yang bertaqwa? yang ada hanyalah sedang belajar bertaqwa.
(Foto: H.Moh.Ali Hanafiah mencium tangan Pangersa Abah ra.) |
Yang bertaqwa itu adalah guru mursyid kita, oleh karena itu kita baru mempelajari taqwa. Kita hanya diminta untuk mencari, membaca informasi yang ada dalam al-quran itu. Dari guru Mursyid kita ketahui bahwa al-Qur,an itu diturunkan sebagai obat dan penawar, menjadi petunjuk. Jadi yang dititipi oleh Allah yaitu guru Mursyid untuk mengelola al-Quran itu menjadi obat, petunjuk, dan penawar. Dan yang berhak mengelola itu hanyalah orang yang bertaqwa. Kita inilah yang membutuhkan penawar, obat, dan petunjuk. Maka kita harus mencari orang yang bertaqwa itu, ini merupakan informasi awal dalam al-Qur'an. Tanda-tandanya bukan karena orang itu dapat terbang, dapat berjalan di atas air, dll. Tetapi tanda-tandanya itu ia percaya kepada yang ghaib, dan yang paling ghaib itu adalah Allah SWT. Tidak pernah dilalaikannya ingatan Beliau kepada yang ghaib itu (Allah). Secara syari’atnya, Pangersa Abah menjaga sholatnya dan membelanjakan sebagian hartanya itulah sebagian tanda-tanda yang telah digariskan Allah di dalam al-Quran. Inilah yang kita cari dan mari bergabung untuk mengikuti jalan orang-orang yang kembali tadi. Alhamdulillah kita semua di sini berkumpul untuk mengingat Allah SWT., apa yang telah Allah informasikan tadi dalam al-Quran sudah kita temukan bahkan kita sudah mendapatkan petunjuk, pendapat, arahan-arahan yang kita butuhkan.
Mungkin kita semua sudah sering untuk sowan atau silaturrahmi dengan Kiyai. Ada yang ingin bertabarruk, ada juga yang ingin menambah ke ilmuannya. Saya lihat Kiyai-kiyai dan beberapa ‘ulama yang saya datangi memiliki koleksi kitab-kitab yang begitu banyak. Berbeda sekali dengan Pangersa Abah, di Madrasahnya tidak ada kitab. Kitab al-Qur'an dan kitab-kitab lainnya tidak hanya untuk dipamerkan dan dibaca tapi untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan ayat-ayat Allah tidak hanya ada dalam al-Quran tapi juga berada di alam semesta dan dalam diri kita sendiri. Untuk melihat semua itu diperlukan kebeningan dan kebersihan hati, kalau tidak maka hati kita akan buta meskipun secara lahiriyah tidak.
Apa gunanya diperlihatkan kebesaran-kebesaran Allah bila matanya masih buta. Kalau disampaikan ayat-ayat kauniyahnya juga sebetulnya ayat-ayat al-quran yang hakiki itu tidak ada gunanya, kenapa karena pendengarannya masih tuli. Maka awalnya dulu dibukakan dulu oleh Pangersa Abah yaitu dengan cara diberi “Talqinudz Dzikri”. Maka dari itu apabila kita telah memperoleh informasi “Dzalikal Kitaabula roiba Fiihi Hudal Lillmuttaqiin” maksudnya bahwa Abah itu termasuk yang dititipkan al-quran, untuk mengelola al-quran maka kita harus menyatakan ingin mendapatkan itu. “Innamaa Yubaayi’uunaka Innama Yubayi’uunal Laaha” harus menyatakan janji setia kepada guru. Kalau kita mungkin tidak dapat menerimanya, insya Allah dengan perjanjian itu kita diberi oleh Pangersa Abah yaitu dibukakan mata hati kita untuk membaca, dan merenungkan kebesaran-kebesaran Allah SWT. Salah satu ayat untuk bahan perenungan kita semua yaitu surat Ali-Imron ayat 190 – 191. Dari ayat tersebut salah satu tanda-tanda kebesaran Allah yaitu dengan silih bergantinya siang dan malam, pergantian siang dan malam itu yang sanggup membacanya itu orang yang sempurna akalnya. Orang yang sempurna akalnya itu berdiri, duduk, dan berbaringnya selalu berdzikir kepada Allah SWT penyempurnaan qolbu untuk dapat membaca tentang kebesaran Allah, sebab kalau kita tidak dapat melihat dan membaca kebesaran Allah melihat, membaca dengan sendirinya kita suka sering membesar-besarkan diri kita dll. Jika kita belum dapat membaca kebesaran itu melihat langsung dengan Nur Ilahi itu pasti sering terjadi walaupun kita sudah mempunyai kajian-kajian yang sudah melekat dalam diri kita sehingga kita terjebak, Dengan demikian bersyukurlah bahwa kita telah dibukakan pendengaran kita, penglihatan kita untuk menjaga (membaca) yang kebetulan kita pada umumnya utamanya dalam membacanya itu.
Itulah salah satu yang saya sampaikan tadi bahwa bedanya cara guru-guru (mursyid) dengan ‘ulama biasa mengajarkannya berbeda. Seperti halnya kita juga melihat, mengetahui bahwa apa yang ditanamkan / yang disampaikan oleh Pangersa Abah sebetulnya telah sesuai dengan persis yang dilakukan awal Rasulullah SAW, sebab pada umumnya kita mendengar bahwa taziah-taziah pada umumnya diberikan itu terlalu tinggi kepada umat sehingga umat-umat itu menjadi bingung dan resah padahal yang disampaikannya itu benar tapi sulit untuk melaksanakan apa yang telah disampaikan. Kajian-kajian itu kadang-kadang terlalu tinggi. Misalnya : Kita sering mendengar tausiyah yang berisi : "Saudara-saudara kita harus bertaqwa kepada Allah SWT, cinta, dan ridho. Dalilnya sudah benar dan penyampaiannya benar tetapi apa mungkin, orang yang menyampaikannya juga belum tentu bisa bertaqwa, ridlo, cinta dll. Kita disuruh untuk mencintai Allah, mana mungkin hal seperti itu akan terjadi, saudara-saudara kita harus sabar! Mana mungkin tenang dan senang pun belum ko bisa sabar. Oleh karena itu kajian-kajian yang disampaikan kepada kita pada umumnya di Masyarakat sudah mengalami kesulitan tanpa dibimbing melalui Thorekat Qodiriyah Naqsabandiyah (TQN), tanpa melalui dzikir kepada Allah itu pasti akan kesulitan. Hampir orang-orang mempelajari bukan mulai dari yang dasar itu dan yang disampaikan itu kebanyakan prestasi-prestasi yang disandang Nabi Muhammad SAW. Seperti ridho, sabar, ikhlash, dll. Hal seperti itu hasil dari pada perilaku amalaiyah Nabi Muhammad SAW. Kadang-kadang kita dituntut untuk mengikuti Nabi Muhammad SAW tetapi sekaligus dengan kemampuan Nabi, beranjak dari permasalahan itu, maka pantaslah banyak umat Islam yang berputus asa dari Rahmat Allah SWT, ia merasa berat ibadah itu karena yang diminta yakni yang diajarkan dan yang disampaikan selalu prestasinya Nabi serta menganjurkan untuk mengikuti sesuai dengan kemampuan Nabi Muhammad SAW. Padahal Allah memberikan kepada kita sesuai dengan kemampuan kita, bukan dengan kemampuan nabi. Kemampuan yang ada tadi pada diri kita maksimalkan dicoba oleh dzikrullah dituntun diangkat oleh guru mursyid kita. Jadi Walaupun kita ada yang maksimal kita ini, kita tetap memaksimalkan dengan mendekati guru mursyid tadi siap terangkat atau berubah dari yang kurang menjadi cukup, dari tidak yaqin menjadi yaqin.
Di sinilah kira permasalahannya sebab kita lihat Rasulullah SAW pertama kali belajar itu belajar apa? Pertama pelajarannya bukan pelajaran langsung prestasinya bagus, tidak ikhlash, ridho, cinta, dll. Kalau kita diminta untuk mengikuti Rasulullah SAW bukan hasilnya yang kita perhatikan tetapi pertama kali Rasulullah SAW itu belajar apa? Ya …Belajar membaca (Iqro) kemudian suruh bacalah kita, yang pada akhirnya orang pun membaca. Pada hal kita ketahui bahwa Rasulullah diminta untuk membaca tetapi beliau tidak dapat membaca, hal ini berulang sampai tiga kali (3 kali). Kemudian setelah itu Rasulullah SAW didekap oleh Malaikat Jibril dan disebut membaca untuk menyebut Nama Allah SWT. Nah berarti bila sudah menyebut Nama Allah berarti zikir. Zikirlah pelajaran pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW dari Malaikat Jibril, sebab mana dapat kita akan dekat dengan Sang Maha Pencifta (Allah SWT) kalau tidak zikir dulu. Sebab bila Allah tidak diikut sertakan dengan kita semuanya maka tak akan berarti sama sekali. Akulah Allah yang mempunyai ilmu, Aku yang akan menyampaikannya, dan Aku yang akan mengajarkannya serta melimpahkan kepada umat manusia yang beriman kepada-Ku. Bila kamu tidak menyertakan AKU kamu hanyalah segumpal darah yang tiada artinya “Laa Haula Walaa Quwwata Illa Billah”. Maka tepat sekali Pangersa Abah itu mengajarkan kepada kita sampai kita sudah dapat membaca. Semoga amal ibadah kita sampai kita meninggal diterima oleh Allah SWT. Amiin.
Mungkin kita semua sudah sering untuk sowan atau silaturrahmi dengan Kiyai. Ada yang ingin bertabarruk, ada juga yang ingin menambah ke ilmuannya. Saya lihat Kiyai-kiyai dan beberapa ‘ulama yang saya datangi memiliki koleksi kitab-kitab yang begitu banyak. Berbeda sekali dengan Pangersa Abah, di Madrasahnya tidak ada kitab. Kitab al-Qur'an dan kitab-kitab lainnya tidak hanya untuk dipamerkan dan dibaca tapi untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan ayat-ayat Allah tidak hanya ada dalam al-Quran tapi juga berada di alam semesta dan dalam diri kita sendiri. Untuk melihat semua itu diperlukan kebeningan dan kebersihan hati, kalau tidak maka hati kita akan buta meskipun secara lahiriyah tidak.
Apa gunanya diperlihatkan kebesaran-kebesaran Allah bila matanya masih buta. Kalau disampaikan ayat-ayat kauniyahnya juga sebetulnya ayat-ayat al-quran yang hakiki itu tidak ada gunanya, kenapa karena pendengarannya masih tuli. Maka awalnya dulu dibukakan dulu oleh Pangersa Abah yaitu dengan cara diberi “Talqinudz Dzikri”. Maka dari itu apabila kita telah memperoleh informasi “Dzalikal Kitaabula roiba Fiihi Hudal Lillmuttaqiin” maksudnya bahwa Abah itu termasuk yang dititipkan al-quran, untuk mengelola al-quran maka kita harus menyatakan ingin mendapatkan itu. “Innamaa Yubaayi’uunaka Innama Yubayi’uunal Laaha” harus menyatakan janji setia kepada guru. Kalau kita mungkin tidak dapat menerimanya, insya Allah dengan perjanjian itu kita diberi oleh Pangersa Abah yaitu dibukakan mata hati kita untuk membaca, dan merenungkan kebesaran-kebesaran Allah SWT. Salah satu ayat untuk bahan perenungan kita semua yaitu surat Ali-Imron ayat 190 – 191. Dari ayat tersebut salah satu tanda-tanda kebesaran Allah yaitu dengan silih bergantinya siang dan malam, pergantian siang dan malam itu yang sanggup membacanya itu orang yang sempurna akalnya. Orang yang sempurna akalnya itu berdiri, duduk, dan berbaringnya selalu berdzikir kepada Allah SWT penyempurnaan qolbu untuk dapat membaca tentang kebesaran Allah, sebab kalau kita tidak dapat melihat dan membaca kebesaran Allah melihat, membaca dengan sendirinya kita suka sering membesar-besarkan diri kita dll. Jika kita belum dapat membaca kebesaran itu melihat langsung dengan Nur Ilahi itu pasti sering terjadi walaupun kita sudah mempunyai kajian-kajian yang sudah melekat dalam diri kita sehingga kita terjebak, Dengan demikian bersyukurlah bahwa kita telah dibukakan pendengaran kita, penglihatan kita untuk menjaga (membaca) yang kebetulan kita pada umumnya utamanya dalam membacanya itu.
Itulah salah satu yang saya sampaikan tadi bahwa bedanya cara guru-guru (mursyid) dengan ‘ulama biasa mengajarkannya berbeda. Seperti halnya kita juga melihat, mengetahui bahwa apa yang ditanamkan / yang disampaikan oleh Pangersa Abah sebetulnya telah sesuai dengan persis yang dilakukan awal Rasulullah SAW, sebab pada umumnya kita mendengar bahwa taziah-taziah pada umumnya diberikan itu terlalu tinggi kepada umat sehingga umat-umat itu menjadi bingung dan resah padahal yang disampaikannya itu benar tapi sulit untuk melaksanakan apa yang telah disampaikan. Kajian-kajian itu kadang-kadang terlalu tinggi. Misalnya : Kita sering mendengar tausiyah yang berisi : "Saudara-saudara kita harus bertaqwa kepada Allah SWT, cinta, dan ridho. Dalilnya sudah benar dan penyampaiannya benar tetapi apa mungkin, orang yang menyampaikannya juga belum tentu bisa bertaqwa, ridlo, cinta dll. Kita disuruh untuk mencintai Allah, mana mungkin hal seperti itu akan terjadi, saudara-saudara kita harus sabar! Mana mungkin tenang dan senang pun belum ko bisa sabar. Oleh karena itu kajian-kajian yang disampaikan kepada kita pada umumnya di Masyarakat sudah mengalami kesulitan tanpa dibimbing melalui Thorekat Qodiriyah Naqsabandiyah (TQN), tanpa melalui dzikir kepada Allah itu pasti akan kesulitan. Hampir orang-orang mempelajari bukan mulai dari yang dasar itu dan yang disampaikan itu kebanyakan prestasi-prestasi yang disandang Nabi Muhammad SAW. Seperti ridho, sabar, ikhlash, dll. Hal seperti itu hasil dari pada perilaku amalaiyah Nabi Muhammad SAW. Kadang-kadang kita dituntut untuk mengikuti Nabi Muhammad SAW tetapi sekaligus dengan kemampuan Nabi, beranjak dari permasalahan itu, maka pantaslah banyak umat Islam yang berputus asa dari Rahmat Allah SWT, ia merasa berat ibadah itu karena yang diminta yakni yang diajarkan dan yang disampaikan selalu prestasinya Nabi serta menganjurkan untuk mengikuti sesuai dengan kemampuan Nabi Muhammad SAW. Padahal Allah memberikan kepada kita sesuai dengan kemampuan kita, bukan dengan kemampuan nabi. Kemampuan yang ada tadi pada diri kita maksimalkan dicoba oleh dzikrullah dituntun diangkat oleh guru mursyid kita. Jadi Walaupun kita ada yang maksimal kita ini, kita tetap memaksimalkan dengan mendekati guru mursyid tadi siap terangkat atau berubah dari yang kurang menjadi cukup, dari tidak yaqin menjadi yaqin.
Di sinilah kira permasalahannya sebab kita lihat Rasulullah SAW pertama kali belajar itu belajar apa? Pertama pelajarannya bukan pelajaran langsung prestasinya bagus, tidak ikhlash, ridho, cinta, dll. Kalau kita diminta untuk mengikuti Rasulullah SAW bukan hasilnya yang kita perhatikan tetapi pertama kali Rasulullah SAW itu belajar apa? Ya …Belajar membaca (Iqro) kemudian suruh bacalah kita, yang pada akhirnya orang pun membaca. Pada hal kita ketahui bahwa Rasulullah diminta untuk membaca tetapi beliau tidak dapat membaca, hal ini berulang sampai tiga kali (3 kali). Kemudian setelah itu Rasulullah SAW didekap oleh Malaikat Jibril dan disebut membaca untuk menyebut Nama Allah SWT. Nah berarti bila sudah menyebut Nama Allah berarti zikir. Zikirlah pelajaran pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW dari Malaikat Jibril, sebab mana dapat kita akan dekat dengan Sang Maha Pencifta (Allah SWT) kalau tidak zikir dulu. Sebab bila Allah tidak diikut sertakan dengan kita semuanya maka tak akan berarti sama sekali. Akulah Allah yang mempunyai ilmu, Aku yang akan menyampaikannya, dan Aku yang akan mengajarkannya serta melimpahkan kepada umat manusia yang beriman kepada-Ku. Bila kamu tidak menyertakan AKU kamu hanyalah segumpal darah yang tiada artinya “Laa Haula Walaa Quwwata Illa Billah”. Maka tepat sekali Pangersa Abah itu mengajarkan kepada kita sampai kita sudah dapat membaca. Semoga amal ibadah kita sampai kita meninggal diterima oleh Allah SWT. Amiin.
-Sumber: www.suryalaya.org
Posting Komentar
Posting Komentar