Dalam mencapai hakikat kesempurnaan jiwa dan mengenal zat ketuhanan dan kesempurnaannya agar lebih dekat kepada Allah, seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi station-station, yang disebut maqamat (bentuk jamak dari maqam). Di samping istilah maqamat ini, dalam literatur tasawuf terdapat pula istilah ahwal (bentuk jamak dari hal).
A. Pengertian Maqamat Ahwal
Untuk mencapai tujuan tasawuf, seorang mubtadi harus menempuh jalan yang panjang dan berat, melakukan berbagai macam usaha dan amal baik yang bersifat amal zhahir maupun amal bathin. Walaupun pengetahuan dalam dunia tasawuf itu pada dasarnya bersifat repetitive, tetapi ia dapat dipelajari melalui tahap-tahap tertentu atau yang biasa disebut dengan istilah maqam.
Istilah ini telah menjadi pembicaraan para sufi abad ketiga Hijriah. Al-Hujwiri menerangkan bahwa Sari As-Saqati (wafat 257 H/870 M) adalah yang pertama kali menyusun apa yang disebut maqamat (jamak dari kata maqam). Tetapi sumber lain menerangkan pula bahwa istilah ini telah dibicarakan juga oleh Zunnun al-Misri (w. 245 H/859 M)
Pengertian maqam menurut para ahli tasawuf berbeda-beda namun pengertian yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi.; menurut Abu Nasher Abdullah bin Ali al-Sarraj al-Thusi, maqam itu berarti: maqam seorang hamba di hadapan Allah pada saat ia berdiri menghadap kepadaNya, ia melakukan ibadah dengan mujahadah, riyadhah dan melepaskan kegiatan duniawi untuk semata-mata berbakti kepada Allah Azza Wajalla. Hal tersebut sesuai dengan Q.S. Ibrahiim: 14 dan Q.S. Al-Shaffat: 164
Imam al-Qusyairi berkata: “maqam ialah, apa yang terjadi pada hamba Allah dari ketinggian adab sopan santunnya yang dapat membawanya kepada jenis usaha dan jenis tuntutan dari berbagai jenis kewajiban.
Perkataan maqam dapat diartikan dengan station, tahapan atau tingkatan, yakni tingkatan spiritual yang telah dicapai oleh seorang sufi. Dan atau tingkatan sikap hidup yang telah dapat dicapai seseorang dengan kesungguhan dan latihan yang terus menerus.
Hal merupakan kondisi mental, seperti perasaan senang, sedih, takut dan sebagainya. Hal berlainan dengan maqam, bukan diperoleh melalui usaha manusia, tetapi diperoleh sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi; datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalannya mendekati Tuhan.
Sebenarnya antara maqam dan hal merupakan dua aspek yang saling terkait dan saling melazimi. Makin tinggi maqam yang dicapai seseorang makin tinggi hal yang ia peroleh. Kalau maqam merupakan tingkatan sikap hidup yang dapat dilihat dari laku perbuatan seorang, maka hal adalah kondisi mental yang sifatnya abstrak. Ia tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya.
B. Tujuh Macam Kenaikan Rohani
Harun Nasution dalam bukunya Falsafat dan Mistisisme dalam Islam mengatakan: “Buku-buku tasawuf tidak selamanya memberikan angka dan susunan yang sama tentang station-station (maqam-maqam) ini”. Di sini akan diikuti pembagian dan susunan Abu Nasr al-Sarraj al-Thusi dalam bukunya Kitab al-luma’ fi’t Thasawwuf. Dalam buku ini diketengahkan adanya tujuh maqam secara urut yang masing-masingnya umum terdapat dalam kitab-kitab lainnya. Ketujuh maqam itu ialah:
1. Maqam Taubah
Menurut orang sufi, yang menyebabkan manusia jauh dari Allah adalah karena dosa, sebab dosas adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai yang suci. Oleh karena itu, apabila seseorang ingin mendekatkan diri kepadaNya, maka ia harus terlebih dahulu membersihkan dirinya dari segala macam dosa dengan jalan bertaubah.
Taubah yang dimaksudkan orang sufi ialah taubah dalam arti yang sebenarnya, yakni taubah yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Taubah yang sebenarnya dalam paham tasawuf ialah lupa pada segala hal kecuali Allah. Orang yang taubah, kata al-Hujwiri, adalah orang yang cinta kepada Allah. Orang cinta kepada Allah senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah. Taubah merupakan tahapan pertama yang harus dilewati oleh seorang pengamal ajaran tasawuf. Inilah yang disebut sebagai perubahan (konversi) dan merupakan pertanda dari kehidupan baru. Namun, seseorang tetap dianggap belum bertaubat, hingga: (1) ia segera meninggalkan dosa, baik yang disadari atau tidak, dan (2) berjanji dalam hati bahwa ia tidak akan mengulangi dosa-dosa tersebut di masa mendatang.
2. Maqam Wara’
Wara’ adalah meninggalkan segala yang syubhat (), yakni menjauhi atau meninggalkan segala hal belum jelas haram dan halalnya. Laku hidup wara’ memang penting bagi perkembangan mentalitas keislaman, apalagi bagi tasawuf. Dalam tasawuf wara’ merupakan pembinaan mentalitas (akhlak) juga merupakan tangga awal untuk membersihkan hati dari ikatan keduniaan.
Wara’ itu ada dua tingkat, wara’ segi lahir yaitu hendaklah kamu tidak bergerak terkecuali untuk ibadah kepada Allah, dan wara’ batin yakni agar tidak maasuk dalam hatimu kecuali Allah ta’ala.
3. Maqam Zuhud
Sesudah maqam wara’ dikuasai mereka baru berusaha menggapai maqam di atasnya, yaitu maqam zuhud. Berbeda dengan maqam wara’ yang pada maka dasarnya merupakan laku menjauhi yang syubhat dan setiap yang haram, zuhud pada dasarnya adalah tidak tamak atau tidak ingin dan mengutamakan kesenangan duniawi. Adapun zuhud menurut bahasa Arab materinya tidak berkeinginan. Dikatakan, zuhud pada sesuatu apabila tidak tamak padanya. Adapun sasarannya adalah dunia. Dikatakan pada seseorang bila dia menarik diri untuk tekun beribadah ddan menghindarkan diri dari keinginan menikmati kelezatan hidup adalah zuhud pada dunia.
Dalam tasawuf, zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan menyucikan hati untuk melepaskan ikatan hati dengan dunia. Maka di dalam tasawuf zuhud diberi pengertian dan diamalkan secara bertingkat.
4. Maqam Fakir
Jika pada dasarnya wara’ berusaha meninggalkan syubhat agar hidup hanya mencari yang jelas, kemudian dengan zuhud telah mulai menjauhi keinginan terhadap yang halal-halal dan hanya yang amat penting bagi kelangsungan hidupnya, di dalam maqam fakir telah sampai puncaknya, yaitu mengosongkan seluruh hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja selain Tuhan. Maka maqam fakir merupakan perwujudan upaya “tathhir al-qalbi bi ‘i-kulliyati ‘an ma siwa ‘llah”, yaitu penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain tuhan. Yang dituju dengan konsep fakir sebenarnya hanyalah memutuskan persangkutan hati dengan dunia, sehingga hatinya hanya terisi pada kegandrungan pada keindahan penghayatan makrifat pada Zat Tuhan saja di sepanjang keadaan.
5. Maqam Sabar
Dalam tasawuf sabar dijadikan satu maqam sesudah maqam fakir. Karena persyaratan untuk bisa konsentrasi dalam zikir orang harus mencapai maqam fakir, tentu hidupnya akan dilanda berbagai macam penderitaan dan kepincangan. Oleh karena itu harus segera melangkah ke maqam sabar. Sebagai satu maqam sabar dalam tasawuf direnungkan dan dikembangkan menjadi konsep yang diungkapkan dalam berbagai pengertian. Ibnu ‘atha misalnya mengatakan
(sabar adalah menerima segala bencana dengan laku sopan atau rela). Dan dikatakan pula bahwa sabar adalah fana’ di dalam bala bencana tanpa ada keluhan.
Jadi dengan maqam sabar para sufi memang telah menyengaja dan menyiapkan diri bergelimang dengan seribu satu kesulitan dan derita dalam hidupnya dengan sikap sabar, tanpa ada keluhan sedikit pun . itulah laku maqam sabar dalam tassawuf.
6. Maqam Tawakkal
Tawakkal atau tawakkul (bahasa Arab) berasal dari kata kerja (fi’il) w-k-l , yang berarti mewakilkan atau menyerahkan. Jika dilihat dari segi istilah, tawakkal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan.
Tawakkal adalah suatu sikap mental seorang (sufi) yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah, karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-galanya, pengetahuanNya Maha Luas, Dia yang menguasai dan mengatur alam semesta ini.
Menurut ajaran Islam, tawakkal itu adalah tumpuan terakhir dalam suatu usaha atau perjuangan. Jadi arti tawakkal yang sebenarnya menurut ajaran Islam ialah menyerahkan diri kepada Allah Swt setelah berusaha keras dalam berikhtiar dan bekerja sesuai dengan kemampuan dalam mengikuti sunnah Allah yang Dia tetapkan.
7. Maqam Ridla
Setelah mencapai maqam tawakal, nasib hidup mereka bulat-bulat diserahkan pada pemeliharaan dan rahmat allah, meninggalkan dan membelakangi segala keinginan terhadap apa saja selain tuhan, maka harus segera diikuti menata hatinya untuk mencapai maqam ridla. Maqam ridla adalah ajaran untuk menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan dan kesusahan menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Yakni sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Ghazali, rela menerima apa saja.
Mengenai maqam ridla ini dalam risalah al-Qusyairiyah dinukilkan macam-macam pemahaman terhadap maqam ridla sesuai dengan renungan tokoh para sufi itu sendiri. Misalnya Ruwaim mengatakan: ridla itu seandainya allah menjadikan neraka jahanam di kanannya, tidak akan diminta untuk dipindah ke kirinya. Ibnu Khafif mengatakan: kerelaan hati menerima ketentuan Tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridlai Allah untuknya. Abu Baker Thahir mengatakan ridla itu hilangnya ketidak senangan dari hatinya, sehingga yang tinggal kegembiraan dan kesenangan dalam hatinya.
C. Nama dan Sifat Hal
Sebagaimana halnya dengan maqam, dalam jumlah dan formasi hal ini juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan kaum sufi. Di antara sekian banyak nama dan sifat hal tersebut yang terpenting dan biasa disebut adalah:
1. Khauf
Khauf menurut ahli sufi berarti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena khawatir kurang sempurna pengabdian. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Oleh karena adanya perasaan seperti itu, maka ia selalu berusaha agar sikap dan laku perbauatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.
Imam al-Ghazali membagi khauf kepada dua macam: (1) khauf karena khawatir kehilangan nikmat dan (2) khauf kepada siksaan sebagai akibat perbuatan kemaksiatan.
2. Raja’
Raja’ berarti suatu sikap mental yang optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-hambaNya yang saleh, karena ia yakin bahwa Allah itu Maha Pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun.
Imam al-Qusyairi mengatakan: raja’ ialah terikat hati pada sesuatu yang diharapkan yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Dan Imam al-Ghazali menerangkan “hakikat raja’ ialah lapang hati (dada) dalam menantikan sesuatu yang diharapkan pada masa yang akan datang dalam hal yang mungkin terjadi.”
3. Syauq
Syauq (rindu) adalah dampak dari sikap mahabbah, karena setiap orang yang cinta kepada sesuatu tentu ia merindukannya. Syauq adalah kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah, yaitu rasa rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta sejati. Perasaan syauq inilah yang menjadi motor pendorong orang sufi untuk selalu berada sedekat mungkin dengan Tuhan, yang menjadi sumber segala kenikmatan dan keindahan yang didambakan.
4. Uns
Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi rohani terpusat penuh kepada satu titik sentrum, yaitu Allah. Tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwanya terpusat bulat sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang ingatan terhadap alam sekitar.
5. Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan pejumpaan secara langsung, bertambahlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mapan dan mantap, bahwa Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang disebut yaqin.
Untuk berada dekat pada Allah, seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi station-station yang disebut maqamat (bentuk jamak dari maqam). Disamping istilah maqamat ini, terdapat pula istilah ahwal. Apabila sifat-sifat ini tetap dan berlangsung terus menerus, kemudian tidak terlepas daripadanya dan selanjutnya menjadi jalan dan cara melakukan perbuatan dan menjadi sifat yang melekat padanya, maka hal itu disebut maqam. Jika keadaan itu datang muncul dan hilan, datang kemudian berlalu, maka hal itu disebut hal. Ahwal (jamak dari hal) merupakan karunia atau anugerah Allah Swt, sedangkan maqamat merupakan hasil usaha. Ahwal itu datang dari hakekat sifat kemurahan Allah, sedangkan maqamat dihasilkan seorang hamba melalui kerja keras.
Jika dilihat dan dibandingkan dengan relita keadaan masyarakat sekarang, khususnya di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim banyak yang telah terpengaruh westernisasi yang sangat jauh dari nilai-nilai budaya dan keislaman, keadaan ini sangat memprihatinkan. Ada baiknya jika kita mengkaji tentang ajaran para sufi yang berlaku sangat sederhana, khususnya terhadap sufi yang terbaik yang kita miliki yaitu Nabi Muhammad saw, beliau telah begitu banyak memberikan contoh teladan bagi kita agar kita tidak terjebak dalam situasi dan kondisi yang akan menghancurkan diri kita sendiri. Wallahu a’lam bishawab.
-REFERENSI:
-Asmaran, Pengantar Study Tasawuf, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1994
-Ardani, Moh, Akhlak Tasawuf, Karya Mulia: Jakarta, 2000
-Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negri Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/1982
-Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1997
-Yunus, Abdul Rahim, Posisi Tasawuf dalam Sisitem kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19
-mufazi881.blogspot.com
Posting Komentar
Posting Komentar