Menu

TQN PP.Suryalaya

 

Dari Aisyah r.ah., dia berkata : “Dahulu orang-orang Quraisy melakukan puasa Asyura’ pada jaman jahiliyah dan Rasulullah shalallhu alaihi wasalam  dahulu juga melakukannya. Tatkala beliau hijrah ke Madinah, beliau melakukannya dan memerintahkan manusia untuk mengerjakannya. Maka tatkala diwajibkan puasa Ramadhan, beliau bersabda : “Barangsiapa yang mau, silahkan ia berpuasa dan siapa yang mau, silahkan ia meninggalkannya.”.” (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain)
Tradisi bangsa Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa datangnya tahun baru, baik tahun masehi, tahun hijriyah atau tahun jawa ini perlu diperingati. Beraneka ragam cara yang mereka lakukan dalam merayakannya mulai dari cara yang sangat sederhana/kecil-kecilan sampai cara yang bersifat besar-besaran. Demikian pula di kalangan kaum muslimin Indonesia, setiap bulan Muharram ada tradisi mengadakan kegiatan rutin tahunan dalam rangka memperingati tahun baru hijriyah, baik itu berupa kegiatan ritual atau kegiatan sosial. 
Yang berupa kegiatan ritual misalnya :
-  Melakukan shalat tasbih; 
-  Puasa hari Tasu'a (9 Muharram) dan hari Asyura (10 Muharram) 
-  Membaca surat ikhlas dengan hitungan tertentu;
Adapun yang berupa kegiatan sosial misalnya : 
-  Bersilaturrahim/berkunjung ke rumah sanak famili; 
-  Besedekah kepada fakir miskin; 
- Membuat anggota keluarga merasa gembira dengan diberi hadiah.
Tradisi yang biasa mereka lakukan itu memang termasuk salah satu masalah furu'iyah yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama yang timbulnya dikarenkan tidak adanya dalil yang sharih atau nash syar’i yang khusus menjelaskan tentang masalah itu. Namun dalam beberapa dalil syar'i, secara umum toh syari'at kita menganjurkan berbuat baik/beramal sholih, baik yang berupa ibadah mahdlah atau ibadah ghairu mahdlah, yang bersifat qauliyah, badaniyah, atau maliyah.
Perbedaan pendapat tersebut bisa kita lihat secara jelas dari tulisan para ulama kita dalam kitabnya masing-masing. Antara lain :
1.    Dalam kitab Nihayatuz Zain hal. 196 disebutkan :
وَنُقِلَ عَنْ بَعْضِ اْلأَفَاضِلِ أَنَّ اْلأَعْمَالَ فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ اثْنَا عَشَرَ عَمَلاً: الصَّلاَةُ، وَاْلأَوْلَى أَنْ تَكُوْنَ صَلاَةُ التَّسْبِيْحِ، وَالصَّوْمُ، وَالصَّدَقَةُ، وَالتَّوْسِعَةُ عَلَى الْعِيَالِ وَاْلاِغْتِسَالُ، وَزِيَارَةُ الْعَالِمِ الصَّالِحِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيْضِ، وَمَسْحُ رَأْسِ الْيَتِيْمِ، وَاْلاِكْتِحَالُ، وَتَقْلِيْمُ اْلأَظَافِرِ، وَقِرَاءَةُ سُوْرَةِ اْلإِخْلاَصِ أَلْفَ مَرَّةٍ، وَصِلَةُ الرَّحِمِ.  وَقَدْ وَرَدَتْ اْلأَحَادِيْثُ فِي الصَّوْمِ وَالتَّوْسِعَةِ عَلَى الْعِيَالِ. وَأَمَّا غَيْرُهُمَا فَلَمْ يَرِدْ فِي اْلأَحَادِيْثِ.  وَقَدْ ذَكَرَ إِمَامُ الْمُحَدِّثِيْنَ ابْنُ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيِّ فِيْ شَرْحِ الْبُخَارِيْ كَلِمَاتٍ مَنْ قَالَهَا فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ، وَهِيَ: سُبْحَانَ اللهِ مِلْءُ الْمِيْزَانِ .... إِلى أن قال: وَنَقَلَ سَيِّدِيْ عَلِيْ اْلأَجْهُوْرِيْ أَنَّ مَنْ قَالَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ سَبْعِيْنَ مَرَّةً: حَسْبِيَ اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ، كَفَاهُ اللهُ تَعَالَى شَرَّ ذَلِكَ الْعَامِ.
Artinya :
"Diriwayatkan dari sebagian orang-orang yang mempunyai sifat utama bahwa amalan pada hari asyura'/10 Muharram itu ada dua belas macam, yakni : shalat, -yang afdlol shalat tasbih- puasa, bersedekah, membuat anggota keluarga merasa gembira, mandi, manziarahi orang alim/orang shalih, menjenguk orang sakit mengusap kepala/menyantuni anak yatim, memakai celak, memotong kuku, membaca surat al-Ikhlash 1.000 x dan silaturrahim. Mengenai anjuran puasa dan membuat gembira kepada anggota keluarga ada hadits yang menerangkannya. Selain dua hal tersebut tidak ada hadits yang menerangkannya. Imam Ibnu Hajar menyebutkan bahwa barang siapa yang membaca kalimat ini pada hari Asyura', maka hatinya tidak mati, yaitu subhanallah mil'al mizan dan seterusnya. Sayyid Al-Ajhuri meriwayatkan bahwa barang siapa yang membaca hasbiyallah wani'mal wakil, ni'mal maula wa ni'man nashir 70 x pada hari Asyura' maka Allah akan menghindarkan orang tersebut dari keburukan dalam tahun ini.
2.    Dalam kitab Asnal Mathalib fi Ahaditsa Mukhtalifatil Maratib juz II hal 586 disebutkan:
(أَحَادِيْثُ فَضْلِ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ) ثَبَتَ مِنْهَا أَحَادِيْثُ الصِّيَامِ، فَفِي الْبُخَارِي وَمُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ تَصُوْمُهُ قُرَيْشٌ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَصُوْمُهُ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ عَاشُوْرَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ. وَأَمَّا حَدِيْثُ التَّوْسِعَةِ وَلَفْظُهُ: مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ سَنَتِهِ كُلِّهَا، فَفِيْهِ خِلاَفٌ.
Artinya :
"(Beberapa hadits tentang keutamaan hari Asyura') Telah tercatat dalam beberapa hadits antara lain tentang puasa (Asyura'). Dalama kitab shahih Bukhari dan Muslim dari A'isah ra, dia berkata : bahwa kaum Quraisy di zaman Jahiliyah berpuasa pada hari Asyura'. Rasulullah SAW. juga berpuasa pada hari itu. Sewaktu beliau hadir/hijrah ke Madinah masih juga beliau melakukan dan memerintahkan puasa Asyura' tetapi ketika puasa Ramadlan telah diwajibkan, beliau meninggalkannya, barang siapa menghendaki puasa disilahkan berpuasa, dan barang siapa yang menghendaki tidak berpuasa boleh meninggalkannya. Adapun hadits "tausi'ah" yang lafdznya : barang siapa membuat gembira kepada keluarganya pada hari Asyura', maka Allah akan memberikan kelapangan kepadanya sepanjang tahun. Hadits tersebut masih diperselisihkan oleh para ahli hadits tentang keshahihannya.
3.    Dalam kitab I'anatut Thalibin juz II hal. 266 diterangkan :
قَالَ الْعَلاَّمَةُ اْلأَجْهُوْرِيْ: وَلَقَدْ سَأَلْتُ بَعْضَ أَئِمَّةِ الْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ عَنِ الْكُحْلِ، وَطَبْخِ الْحُبُوْبِ، وَلُبْسِ الْجَدِيْدِ، وَإِظْهَارِ السُّرُوْرِ، فَقَالَ: لَمْ يَرِدْ فِيْهِ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلاَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَلاَ اسْتَحَبَّهُ أَحَدٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ.
Artinya :
Imam Ajhuri berkata : sungguh saya telah menanyakan kepada sebagian dari para imam ahli hadits dan ahli fiqih tentang memakai celak, menanak biji-bijian, memakai pakaian yang serba baru dan memperlihatkan kegembiraan, beliau menjawab : mengenai hal itu tidak ada riwayat hadits yang shahih dari Nabi atau salah seorang sahabat dan tidak ada salah seorang pun dari para pemimpin Islam yang menganjurkannya.
Walaupun demikian, karena sudah menjadi tradisi, maka hal tersebut bisa saja dilestarikan (jangan ditinggalkan), namun dengan catatan : bagi yang melakukannya jangan mempunyai i'tikad/anggapan bahwa yang dilakukan itu merupakan anjuran khusus dari Rasulullah SAW. kecuali beberapa amalan yang memang sudah dinash dalam hadits nabi. Ketentuan ini sesuai dengan keterangan dalam kitab mafahim yang ditulis oleh Sayyid Muhammad Alawi, hal. 314 :
جَرَتْ عَادَاتُنَا أَنْ نَجْتَمِعَ لإِحْيَاءِ جُمْلَةٍ مِنَ الْمُنَاسَبَاتِ التَّارِيْخِيَّةِ كَالْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ، وَذِكْرَى اْلإِسْرَاءِ وَالْمِعْرَاجِ، وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، وَالْهِجْرَةِ النَّبَوِيَّةِ، وَذِكْرَى نُزُوْلِ الْقُرْآنِ وَذِكْرَى غَزْوَةِ بَدْرٍ. وَفِي اعْتِبَارِنَا أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ عَادِيٌّ لاَ صِلَةَ لَهُ بِالدِّيْنِ، فَلاَ يُوْصَفُ بِأَنَّهُ مَشْرُوْعٌ أَوْ سُنَّةٌ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ مُعَارِضًا لأَصْلٍ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ، لأَنَّ الْخَطَرَ هُوَ فْي اعْتِقَادِ مَشْرُوْعِيَّةِ شَيْءٍ لَيْسَ بِمَشْرُوْعٍ.
Artinya :
"Kita mempunyai tradisi yang sudah berlaku yaitu kita berkumpul untuk perayaan sejumlah hari-hari yang bernilai sejarah, seperti kelahiran nabi, peringatan Isra' Mi'raj, malam NishfuSya'ban, peringatan hijrahnya nabi, malam nuzulul qur'an dan peringatan perang badar. Menurut anggapan kita, perkara semacam itu merupakan suatu tradisi semata tidak ada sangkut pautnya dengan syari'at agama, maka tidak bisa dikatakan bahwa hal tersebut disyari'atkan atau disunnatkan. Namun amalan tadi sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Karena yang menjadi kekhawatiran itu hanya lah timbulnya anggapan adanya anjuran syariat terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak disyariatkan.

TATA CARA PELAKSANAAN:


Waktu Pelaksanaan
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa puasa ini dilakukan pada hari kesepuluh dari bulan Muharram, akan tetapi ditambah dengan satu hari sebelumnya yaitu pada hari kesembilan, sebagai bentuk penyelisihan terhadap orang-orang yahudi. Puasa yang dilakukan pada hari kesembilan ini dikenal dengan nama puasa Tasua’.
Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata ketika Rasulullah s.a.w. melakukan puasa Asyura’ dan memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu :
((يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَومٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى))
“Wahai Rasulullah! Sesungguhnya hari Asyura’ merupakan hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashrani”
Maka beliau s.a.w.  bersabda 
            “Apabila pada tahun depan Insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan”.Ibnu Abbas berkata : “Maka tidak datang tahun depan hingga wafat Rasulullah s.a.w.” (HR. Muslim).

Keutamaan Puasa Asyura’
Di antara keutamaan puasa Asyura’ adalah :
1. Hari di mana puasa ini dikerjakan merupakan salah satu dari hari-hari Allah subhanahu wata’ala.
2. Pada hari ini Allah SWT. menyelamatkan Nabi-Nya, Musa as. dan para pengikutnya dari kejaran Fir’aun beserta bala tentaranya.
3. Puasa ini dapat menghapus dosa satu tahun sebelumnya.
Rasulullah s.a.w.  ketika ditanya tentang pahala puasa Asyura’, beliau bersabda :
((يُكَفَّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ))
“Dia dapat menghapus (dosa) tahun yang lalu.” (HR. Muslim)
Para Ulama’ berbeda pendapat pada amalan-amalan yang dapat menghapus dosa-dosa seperti puasa Arafah yang dapat menghapus dosa satu tahun sebelum dan sesudahnya, puasa Asyura’ yang dapat menghapus dosa satu tahun sebelumnya serta yang lainnya, apakah amalan-amalan ini dapat menghapus seluruh dosa baik besar maupun kecilnya. Imam Nawawi berkata : “ Maksud dosa yang dihapus oleh puasa adalah dosa-dosa kecil. Dan bila tidak ada diharapkan diringankan dosa-dosa besarnya, bila tidak ada maka diangkat derajatnya.”
4. Puasa ini termasuk sunnah yang ditekankan. Terbukti Rasulullah s.a.w. memerintahkan orang yang makan untuk berpuasa dan memerintahkan para wanita untuk tidak menyusui bayi-bayinya pada hari ini.

Berkata Imam An-Nawawi : “Para Ulama’ telah sepakat bahwa puasa pada hari Asyura’ adalah sunnah, bukan wajib. Dan mereka berselisih tentang hukumnya di awal Islam  sebelum disyariatkan puasa Ramadhan. Berkata Abu Hanifah : “Dia wajib.”. Sedangkan pengikut Imam Syafi’i dalam hal ini mereka berselisih menurut dua pendapat yang mashur. Yang paling mashur dari kedua pendapat ini, hukumnya adalah sunnah semenjak disyariatkan dan tidak akan pernah menjadi wajib atas umat ini. Akan tetapi ia adalah sunnah yang ditekankan. Lalu tatkala turun perintah puasa Ramadhan, puasa ini menjadi sunnah dibawah sunnah yang sebelumnya. Dan pendapat yang kedua, puasa ini dahulu wajib sebagaimana perkataan Abu Hanifah …..” ( Syarah Shahih Muslim oleh Imam An-Nawawi jilid 3 halaman 198-199).

Posting Komentar

 
Top