Menu

TQN PP.Suryalaya

 


Alhamdulilah, Allah memberikan hidayah dan taufiq, telah memudahkan langkah kita menuju majelis yang dimuliakan-Nya. Semoga langkah tersebut diiringi ampunan-Nya, pikiran dicerahkan, hati dibukakan, dibukakan pintu kesadaran untuk bersyukur atas karunia-karunia-Nya.Shalawat dan salam kepada pembawa Risalah Islamiyyah Uswatun Hasanah, yakni Muhammad Shallallahu ’alaihi wasallam bagi yang mengharapkan keridhaan Allah dan Hari Akhir, beserta keluarga dan pewaris di setiap zaman.Panca indera yang sempurna adalah anugerah dari Allah (mawahib) tanpa usaha manusia pengadaannya. Allah persiapkan planet bumi untuk manusia dengan rancangan segala perbendaharaannya baik yang ada di permukaan maupun di perut bumi. Semuanya adalah aset yang sangat berharga untuk kelangsungan hidup umat manusia sepanjang masa. Apa yang dititipkan itu merupakan karunia Allah, dan betapa murah-Nya Allah memberi tanpa diminta. Demikianlah semua berasal dari-Nya, dan kembali kepada-Nya. Innaa lillah wa innaa ilayhi rooji’un. [Q.S. Al-Baqarah: 156]

Dan yang lebih utama dari semua itu adalah kesempatan terbaik untuk lebih merasakan karunia yang lebih dahsyat lagi, yang hakiki dan permanen jika berhasil mempertahankan kondisi fitrah ketika ‘berpulang’ sebagaimana ketika ‘datang’. Kewajiban manusia setelah terlahir di muka bumi adalah kembali kepada Allah wa innaa ilayhi rooji’un, dengan membawa fitrah yang sama, membawa nilai-nilai Ilahiyyah (Ketuhanan), kebaikan dan kebenaran, dalam keadaan bersih dari dosa. Rangkaian kalimat Innaa lillah wa innaa ilayhi rooji’un adalah perjalanan waktu yang menyeret manusia menuju kepada Sang Pencipta. 

Maka dalam proses kembali kepada Allah dalam pandangan Ahlul Kasyfi memerlukan usaha yang maksimal supaya ketika pulang kepada Allah dalam keadaan tentram dan damai.Manusia telah dilimpahi karunia dari Allah tanpa usaha dan permintaan, tapi ia punya kewajiban mengikuti jalan (aturan) Allah ketika pulang kepada-Nya.Bukanlah hal yang mudah untuk proses mengikuti jalan Allah. Ujian demi ujian menghadang perjalanan menuju kepada Allah. Usaha (maskasib) mesti maksimal agar mengikuti jalan Allah supaya mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan.

-Modal perjalanan proses kembali kepada Allah:
Manusia saat ini dalam proses wa innaa ilayhi rooji’uun (kembali kepada Allah). Dalam menempuhnya mesti mesti menggunakan jalan (thoriqoh), atau metodologi. Metode yang dipilih adalah cara yang dilakukan oleh para Nabi, Shiddiqin, Syuhada dan Shalihin.Modal perjalanan pulang kepada-Nya adalah keimanan (kepercayaan). Tanpa keimanan manusia akan menggunakan metode sendiri-sendiri. Jalan yang lurus sudah dibentangkan seluruh para Nabi dan Rasul-Nya. Setelah rangkaian Nabi adalah metode jalan itu dibawa oleh para pewaris, Al-’Ulama. Sepanjang zaman jalan yang lurus telah ditegakkan. Dan hanya orang yang beriman saja yang mengikuti jalan yang lurus itu.Demikian pula di akhir zaman ini yang mengikuti (beriman) pada pewaris Nabi adalah mereka yang mengikuti jalan yang lurus. Modal keimanan ini adalah yang menjadi semangat dan energi dalam jalan menuju kepada Allah.Kualitas keimanan itu selalu diuji, agar terlihat jelas perbedaan iman yang benar dan yang salah. Al-Quran menyebutkan,أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ. ﴿العنكبوت: ٢﴾Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? [Q.S. Al-Ankabut: 2]Obyek keimanan di sini tidak disebutkan menunjukkan sifat umum, karena obyek keimanan tidak hanya kepada Allah saja. Obyek keimanan berawal dari keimanan kepada Allah, kemudian kepada apa-apa yang diperintahkan-Nya.Banyak manusia mengira bahwa ketika sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, telah selesai urusannya kepada Allah. Padahal Allah akan menguji pengakuan (statement) yang telah diungkapkannya itu.Ujian yang diturunkan atas orang-orang yang menyatakan keimanan kepada Allah dan yang diperintahkan-Nya disebabkan karena obyek yang diimaninya itu adalah haq, dan teramat tinggi nilainya. Sedangkan di sisi lain ada pula manusia yang mengimani obyek yang salah (batil).Manusia dalam kehidupannya sering berhadapan dengan bayangan palsu kepercayaan yang akhirnya melenyapkan lamunan prasangka yang semula ia yakini. Ia mempercayai sesuatu yang salah atau dusta, sehingga hasilnya adalah kesia-siaan.Di arena kehidupan ini manusia dengan kemampuan yang dimilikinya mesti melakukan seleksi intensif kepada obyek keimanan yang ia percayai dapat mengantarkannya kepada gerbang keselamatan dan kebahagiaan yang abadi. Karena di akhirat para pemimpin yang mengaku dirinya mampu membawa pengikutnya kepada harapan besarnya itu akan diuji dan dibuktikan. 

Dalam Al-Quran sudah dinyatakan,وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا ﴿الأحزاب: ٦٧ ﴾Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang lurus).

Di dunia ini banyak pemimpin agama berupaya membawa manusia kepada jalan yang lurus. Namun kesemuanya akan ditentukan pembuktiannya di akhirat nanti. Para Nabi dan pewarisnya diperintahkan untuk mendeklarasikan diri agar jelas dan pasti misi yang sedang dibawanya,قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ ﴿الأنعام: ١٦١﴾Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus,Bagi yang tidak diberikan garis kebijakan Kenabian (pewaris), saat ini bukanlah tempatnya untuk mengaku paling benar dan menuding kesesatan golongan lainnya, karena Allah SWT menggariskan,إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِي بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ﴿الجاثية: ١٧﴾Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih padanya.Yang menghadapi ujian adalah orang yang legal. Iman kepada Allah dan yang diperintahkan Allah.

 Orang yang tidak beriman (fii zhulumaat) berada di luar wilayah ujian. Diibaratkan dalam dunia pendidikan, yang diuji adalah yang terdaftar resmi di sekolah bukan yang tidak. Tidak ada orang yang bukan pelajar dan terdaftar, ikut ujian di sekolah.وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ ﴿العنكبوت: ٣﴾Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.(صَدَقَ) pengertiannya ‘tepat’, sesuai antara apa yang diucapkan lisan dan yang ada di dalam hati. Orang-orang yang tepat lisan dan hatinya, akan melahirkan amal yang shalih. Lisannya mengucapkan ‘iman’, sedangkan hatinya penuh dengan kepercayaan. Adapun orang-orang yang dusta (الْكَاذِبِينَ), yakni tidak sesuai apa yang diucapkan dengan hatinya, kelakuannya itu tidak akan berbuah amal yang shalih. Jenis orang semacam ini dikategorikan keimanannya sebagai keimanan orang-orang munafiq yang tertolak (mardud).Orang-orang yang tidak sesuai apa yang diucapkan dengan yang di hati bisa menipu orang atas nama agama Allah. Perkataannya meyakinkan dengan melafazkan Asma Allah, tapi hatinya menyelisihinya.


-Bentuk Ujian Keimanan:
Apa yang diucapkan seseorang mesti diuji untuk membuktikan kebenarannya. Bentuk ujian keimanan yang diterima manusia terbagi dalam beberapa kelompok:Umaro‘, penguasa yang zhalim karena bergeser kekuasaannya. Para Nabi dan orang-orang shalih terdahulu juga diuji oleh para penguasa zhalim, seperti Nabi Ibrahim As, Nabi Musa As, Ashabul Kahfi, dan lain-lain. Hal tersebut telah dijelaskan dalam Al-Quran:Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, .. [Q.S. Al-An’am: 112]Di negeri ini, Alhamdulillah, tidak ada larangan untuk beribadah. Sedangkan pada masa penjajahan dahulu, kebebasan keimanan dan dakwah dibatasi. Negeri ini memasuki alam kebebasan yang seluas-luasnya, maka kita mesti merdekakan pikiran dan hati dari belenggu hawa nafsu. Pikiran yang tidak lurus dan hati yang kotor menunjukkan seseorang belum merdeka, karena masih terjajah oleh hawa nafsunya.Ulama Su’, kecemburuan (hasud) Ulama. Khawatir penghargaan penghormatan dan kepercayaan masyarakat. Ilmunya tidak bermanfaat (Nafi’), karena tidak menambah petunjuk baginya.Tho’nul Juhala, cacian orang-orang yang bodoh, sempit keilmuan dan lemah basic keilmuannya. Yang mencaci juga termasuk orang-orang yang mengerti Kitab (Ahlul Kitab). Pada masa dahulu ketika arah kiblat menghadap Baitul Maqdis orang-orang Ahlul Kitab mengejek Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam dengan ungkapan bahwa ajaran yang dibawanya itu ikut-ikutan saja. Hal ini membuat dada Beliau menjadi sesak. Sehingga apa yang Beliau Shallallahu ’alaihi wasallam sampaikan tidak direspon sama sekali, Sawaa-un ’alayhim a-andzartahun am lam tundzirhum laa yu‘minuun [Q.S. Al-Baqarah: 6, Yunus: 10] Sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Akhirnya setelah dakwah telah maksimal dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam, Allah berfirman: Wa a’ridh ’anil jahiliin. ‘Berpalinglah dari orang-orang yang bodoh!’ [Q.S. al-A’raf: 199] Yakni orang-orang yang bodoh hatinya, tidak mengerti dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam. Inilah bimbingan Allah, agar tidak habis energi dalam berdakwah alias sia-sia, dan diarahkan kepada obyek lainnya.

Orang yang bodoh hati dan tidak bisa diberikan bimbingan diibaratkan pakaian yang sangat kotor dan tidak mampu lagi dibersihkan dengan apapun. Hatinya telah dikunci mati, dan Allah mengunci indera lainnya pula (khatamallaahu ’alaa quluubihim wa’alaa sam’ihim wa’alaa abshoorihim ghisyaawah) Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. [Q.S. Al-Baqarah: 7] Hati yang tertutup ini akan terbuka ketika ajal mendekat, namun pintu taubat telah tertutup baginya.Walmulamatul ashdiqoo‘, makian dari teman dekat. Sebagai contoh apa yang dialami Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam. Dahulu Beliau berkawan dekat dengan sepupunya, Abu Sufyan. Keduanya bersahabat dekat dan saling tolong menolong karena hubungan persaudaraan. Namun setelah Beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul, hubungan tersebut berubah, Abu Sufyan mencaci dan memusuhinya.
 
-Kesimpulan:
Setelah manusia dilahirkan dalam keadaan suci, ia dipaksa untuk kembali lagi kepada-Nya (disadari atau tidak) baik secara perlahan maupun cepat. Manusia tidak dapat menolak Kehendak-Nya. Siap atau tidak, ia mesti menghadapi kenyataan tersebut. Manusia diberikan kesucian pada awalnya tanpa keinginan, dan ketika ia kembali kepada-Nya kesucianlah yang paling diharapkan. Karena tidak ada manusia yang selamat dari ranjau dosa dan kesalahan.Innaa lillaahi. Fitrah manusia ketika diturunkan ke muka bumi adalah karunia (mawahib) yang datang tanpa diminta. Dan begitu manusia kembali kepada-Nya (wainnaa ilayhi rooji’uun) membutuhkan ikhtiyar usaha (makasib)[1] yang banyak dan ideal agar dirinya kembali dalam kondisi fitrah ketika berhadapan dengan Allah.Proses perjalanan kembali kepada-Nya membutuhkan thoriqoh (metode), karena kondisi perjalanan tersebut terdapat banyak ujian yang menghadang. Metodenya adalah berupa jalan yang lurus yang dibawa oleh para Nabi dan penerus setelahnya. Modal dalam perjalanan tersebut adalah keimanan. Sedangkan bentuk ujian keimanan itu adalah: kezhaliman ’Umaro (penguasa), hasadnya Ulama, celaan orang bodoh, dan cacian kawan dekat.
 
Lq, 8 Nov ‘12 [1] Hadir pengajian (termasuk manakiban) adalah bentuk usaha dan proses menuju kepada Allah. -sumber: al-idrisiyyah.com

(Oleh Dokumen Pemuda TQN Suryalaya, dari dokumen no.377 di Facebok Pemuda TQN Suryalaya)

Posting Komentar

 
Top