-IMAM ALGHAZALI- |
“Idza zaadani
‘ilman, zaadani fahman bijahly”
(Imam AlGhazali)
Pendahuluan:
Al-‘Ilm Shifatul
‘Alim, Sepenggal kalimat yang bermakna bahwa Ilmu adalah merupakan sifat
dari orang yang berilmu itu sendiri. Ilmu bukan berada di dalam sutur tapi
dia mestinya ada dalam shudur. Oleh karena itu, tidak ada ilmu tanpa
ada yang memberi, pertanyaan timbul lagi: Siapakah yang memberikan ilmu? Kenapa
warisan ilmu hanya diberikan kepada‘ulama saja dan bukan umara?
Apakah kriteria orang yang mendapat julukan ‘ulama itu? Tentunya
ulama yang saleh memiliki ilmu bersambung kepada guru-gurunya, ulama-ulama
salaf, tabin wa tabiin, tabiin, Para Sahabat Nabi dan kepada Nabi Muhammad
S.a.w. (red.)
Pertanyaan
tersebut kerap kali kita dengar tapi pembahasan kali ini tidak menyinggung
pertanyaan diatas tapi lebih kepada keutamaan ilmu, pembagian dan kriteria ilmu
itu sendiri.
Di Abad ke-12
dan ke-13 yang lampau, para ilmuwan barat berbicara: kenapa kita sudah
menterjemahkan banyak buku khazanah keilmuwan Islam tapi kita belum juga maju
seperti mereka? [1] melihat para ilmuwan muslim begitu kaya dengan
khazanah keilmuwan Islam diberbagai bidang, akhirnya mereka secara massif
menterjemahkan kedalam bahasa Latin yang hingga abad ke-18 merupakan lingua
franca sekaligus bahasa agama dan ilmu pengetahuan.[2] Kemudian
pertanyaan-pertanyaan itu muncul lagi di abad ke-20 dan ke-21, hanya sayangnya
pertanyaan itu bukan datang dari komunitas non-muslim lagi tapi umat muslim
sendiri.[3] Kemuduran yang diartikan oleh sebagian orang disini adalah
sains dan teknologi.
“Peneluran”
sains dan teknologi barat sudah banyak didapati dimana-mana sehingga paradigma
pemikiran mereka menjadi acuan disiplin keilmuan sains dan teknologi di abad
ke-21. Para ilmuwan muslim abad ke-19 dan-20 seperti Muhammad Iqbal, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridho, Syeikh Waliullah Adh-Dhihlawi, Shibli Nu’mani dan
sebagiannya sebenarnya sudah mempunyai konsep besar untuk merekonstruksi
kembali sistim pendidikan sehingga menjadi sebuah keseimbangan ilmu duniawi dan
ukhrowi dan tidak ada perbedaan antara ilmu Islam dan ilmu sains.[4] hanya
saja yang me-lirik kembali konsep itu masih terbilang.
Dari sini banyak
disiplin ilmu yang perlu untuk dikaji dan pelajari lagi, baik tentang
Epistimologi, Ontologi maupun Aksiologinya. Dari variasi itu, banyak pandangan
yang tidak sama satu dengan yang lain. Beberapa rujukan ilmu yang diambil oleh
para ilmuwan barat semuanya bermuara dari asumsi keraguan (conjecture source),
dan bahkan tidak berdasar.[5] Itulah kemudian disiplin ilmu yang ambil
dari western scholars menjadi suatu keunikan tersendiri tapi
sebenarnya rujukan mereka sangat syarat dengan kelemahan. Bagaimanapun juga,
mengkaji khazanah keilmuan dari kitab-kitab turots para ulama muslim
tidak kalah hebatnya untuk ditelaah dan kemudian dijadikan rujukan seperti
halnya ke-iri-an para ilmuwan barat ketika melihat khazanah keilmuwan Islam di
sekitar abad ke-12 dan 13 Masehi, Sungguh membanggakan..!!
Berawal dari
sinilah, kami mencoba melihat tokoh sangat berpengaruh dalam pemikirannya
terutama konsep ilmu yang sebagian banyak rujukannya dipetik dari absolute
source, tak ada keraguan didalamnya sebagai petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tokoh yang dijuluki Hujjatul
Islam ini sudah membuat influential book, Ihya ‘Ulumuddin. Sebuah
rujukan dari permasalahan umat dari mulai masalah fundamental sampai konvensional, juga
dari hal fisik sampai metafisik. Oleh Karena itu, sangatlah
penting penulis memulakan pembahasannya dari seorang tokoh besar berasal dari
Thusi, Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi, Abu Hamid Al Ghazali yang
akan dibahas dalam konsepnya tentang Ilmu. Akan diuraikan dalam goresan
sederhana berikut ini.
(Bersambung ke
Bagian II)
Makalah perdana
Kajian Kitab Klasik (Triple K) di Universitas Islam Antarbangsa, Malaysia.
[1]
Penyampaian Dr. Syamsuddin Arif ketika membentang makalah beliau di Universti
Malaya. 3 April 2010
[2]
Lih. artikel berjudul, Transmigrasi Ilmu: Dari Dunia Islam ke
Eropa” oleh Dr. Syamsuddin Arif, ketika menjadi pembicara di International
Seminar on The Enlightenment of Islamic Civilization, 13 November 2010 di
Universitas Sulatan Agung (UNISSULA) Semarang, p.3
[3] Sebuah
buku yang memaparkan pertanyaan-pertanyaan itu sudah dipresentasikan
oleh shobibul manar “Ashayyid Rosyid Ridho”. Beliau mempresentasikannya
karena permintaan dari seorang yang selalu diberi julukan sebagai amirul
bayan,”Syakit irsalan”. Syakit Irsalan ini seorang ilmuwan besar di wilayah
timur ‘arab, yang kemudian menulis sebuah buku berjudul Limadza ta’akhorul
Muslimun wa limadza taqoddama ghoiruhum, (al-Qohiroh: mathba’ah
al-manar), 1930 M.
[4]
Sebuah renungan dari M. Iqbal yang mengatakan: “One cannot resurrect a ‘dead’
tradition by infusing an alien ‘blood’ into it.” Artinya satu kejadian tidak
dapat menghidupkan sebuah tradisi ‘kematian’ dengan cara menginfus darah satu
alien kedalamnya. Lihat artikel “Islam dan Sains: Renungan dan Rancangan” oleh
Dr. Syamsuddin ‘Arif
[5]
Mumtaz Ali, Critical Thinking an Islamic Perpective (Kuala Lumpur:
Percetakan Adiwarna Utama), 1st edition: 2008, Hal. 34
[Penulis : Fejri
Gasman,fejrigasman.wordpress.com]
Posting Komentar
Posting Komentar