(IMAM AL-GHAZALI) |
-Pembagian
Ilmu:
Dalam buku Ihya
Ulumuddin di bab pertama ini, Imam Ghazali menulis tentang pembagian Ilmu.
Menurut Imam Ghazali, Ilmu ada yang menjadi fardhu ‘ain untuk
dipelajari, ada juga fardhu kifayah. Ilmu itu terbagi menjadi 2:
yaitu Ilmu Mu’amalah dan Ilmu Mukasyafah.[16]
Dalam Ilmu
Mu’amalah ini ada yang disyari’atkan dan ada juga tidak
disyari’atkan.[17] Yang disyari’atkan dibagi menjadi 2, ilmu yang
terpuji (‘ilmu mahmudah) dan ilmu yang tercela (‘ilmu madzmumah) [18].
Imam Ghazali
menjelaskan bahwa ilmu itu menjadi mahmudah karena bermanfaat untuk
kemaslahatan ummat. Beliau pun membagi menjadi 4 yaitu: Ushul, Furu’,
Muqoddimat, dan Mutammimat.[19]
1. Ushul seperti
Kitabullah Al-Qur’an, Assunnah, Ijma’ul ‘ummah, dan atsarushohabah.
2. Furu’ itu
ilmu penunjang yang bisa membantu untuk memahami ‘ushul, bukan dari aspek
lafaznya tapi dari aspek maknanya.ini pun dibagi menjadi 2; pertama,
penunjang kebaikan dunia (mashlahat duniawi) seperti, ilmu fiqh, ilmu
‘aqoid, kedokteran, hisab, falak, politik, ekonomi dsb; dan kedua, penunjang
kebaikan akhirat (mashlahat ukhrowi)seperti ‘ilm ahwalul qolb dan ‘ilm
akhlaqul mahmudah wal madzmumah.
3. Muqoddimaat adalah
sebagai alat yang membantu untuk bisa memahami ilmu ushul, Seperti
Nahwu, Shorf, Balaghoh dsb.
4. Mutammimat adalah
yang menyempurnakan seperti di dalam al-Qur’an. mempelajari ta’limul
qiro’at, makharijul huruf. Kalau yang berkaitan dengan maknanya seperti
ilmu tafsir. Yang berkaitan dengan hukum-hukumnya seperti mengetahui nasikh dan mansukh, ‘am dan khosh,
atau nash dan dzohir.
Kalau
didalam atsar dan akhbar ada ilmu tentang rijal, nama-namanya,
nasabnya, nama-nama sahabat, sifat-sifatnya, atau ilmu‘adalah firruwat, mursal dan musnad, dsb.
Kesemuanya ini adalah ilm yang disyari’atkan dan semuanya mahmudah dan masuk
kedalam fardh kifayah untuk diperlajari.[20] Sedangkan Ilmu
madzmumah (tdk terpuji) dicontohkan beliau seperti Sihr,
Talbis, Jimat (Tholsimaat) dan ‘Ilm Asy-Sya’idzah.
Ada 3 alasan
kenapa ilmu itu disebut ilmu yang tercela (madzmumah); Pertama, jika
ilmu itu membawa yang lain kepada kejahatan, Kedua, jika sebuah ilmu
itu menyebabkan banyak kerugian. ketiga, jika ilmu tidak bermanfaat.[21]
Imam
Ghazali menyebutkan juga bahwa Ilmu yang tidak disyari’atkan adalah ilmu yang
tidak dimanfaatkan oleh paraanbiya seperti al-hisab, atau yang
berkaitan dengan eksperimen (Tajribah) seperti kedokteran, dan
pendengaran (Sima’ ) seperti bahasa.[22]
Dalam pembagian
ilmu diatas, Imam Ghazali menjelaskan bahwa kedua ilmu itu (ilmu mu’amalah dan
ilmu mukasyafah) tidak akan dapat dipahami jika ada 2 sifat dalam
hatinya, yaitu bid’ah dan kibr.[23]
Didalam ilmu mu’amalah,
Ada 3 hal yang dibebankan kepada seorang hamba yang berakal dan mampu
untuk berbuat dengannya, yaitu: I’tiqad, Fi’il dan Turuk; Pertama, I’tiqod disini
bermaksud bahwa setiap yang sudah mencapai kedewasaan maka wajib untuk
mempercayai bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan_Nya(Syahadah). Kedua, Fi’il ditujukan
kepada setiap orang yang sudah bisa mengetahui akan syari’at Islam maka dia
dituntut untuk mengerjakannya, contoh: sholat, puasa, haji, dsb. Ketiga, Turuk dimaksudkan
adalah seorang diwajibkan untuk belajar sesuai dengan kondisi keadaannya dan
tidak bertolak dengan keadaan seseorang, seperti orang tuli tidak diwajibkan
belajar dari pelajaran yang berkaitan dengan pendengarannya, atau orang yang
buta tidak diwajibkan belajar dalam hal yang berhubungan dengan penglihatannya. [24]
Imam Ghazali
menerangkan lagi bahwa ilmu mu’amalah ini sangat berkaitan erat
dengan “keadaan hati” (ahwalil qolbi)artinya dengan Ilmu manusia itu bisa
menjadi terpuji ataupun tercela. Oleh Karena itu, tidak akan bermanfaat ilmu
seseorang bila dia mempunyai sifat-sifat yang tidak terpuji.
Perihal ahwalul
qolb didalam ilmu mu’amalah ini, Imam Ghazali menjelaskan 2 hati (hati
yang terpuji dan hati yang tercela) yang dimiliki setiap penuntut ilmu,
yaitu Pertama, yang memiliki hati terpuji apabila mempunyai kondisi
hati yang positif seperti Shabr, Syukr, Khouf (takut kepada
Allah), Rojak (pengharapan), Ridho (rela), Zuhd, Taqwa,
Qona’ah (merasa cukup), Sakha (dermawan), Husnuddzon (baik
sangka), Shidq (Jujur), dsb. Ilmu akan banyak manfaatnya bila
seseorang mempunyai sifat hati yang seperti disebutkan diatas. Kedua, Ilmu
tidak akan bermanfaat bila yang menuntut ilmu tadi memiliki kondisi hati yang
negatif, seperti hasd (iri), hubbutsana’ (suka
pujian), al-kibr (sombong), riyak, ghodob (marah), al-‘adawah (permusuhan), thomak (rakus),
bakhil, dsb. Sama seperti perkataan seorang ‘ulama muslim Tajuddin
Assabaky dalam bukunya “Muqoddimah Thobaqoti asy-Syafi’iyyah al-Kubro” beliau
berkata: ”man lam yashun nafsahu, lam yanfa’hu ‘ilman” artinya
barangsiapa yang tidak menjaga (kehormatan) dirinya, maka ilmu tidak akan
bermanfaat untuknya. Itulah kenapa, setiap ilmu yang disampaikan harus secara
baik dan dalam kondisi hati yang positif.
Dalam Ilmu
Mukasyafah, Imam Ghazali menjelaskan bahwa ilmu ini adalah “ghooyah” dari
semua ilmu karena dia yang berkaitan dengan hati, jiwa, ruh dan pensucian jiwa
(Purification of Soul). Dia diibaratkan seperti cahaya yang menerangi hati
seseorang dan yang mensucikan dari sifat-sifat tercela. Dengan membuka cahaya
itu maka perkara yang banyak dapat diselesaikan, didengar, dilihat dan dibaca
dan akhirnya membuka hakekatul ma’rifah dengan dzatullah
subhanahu wata’ala. Inilah ilmunya para Shiddiqun dan Muqorrobun.
Mereka bisa mengetahui hakekat dari makna kenabian, wahyu, syeitan, lafadznya
malaikat dan syeitan, perbuatan syeitan kepada manusia, cara penampakan
malaikat kepada nabi, cara penyampaian wahyu kepada nabi, mengetahui seisi
langit dan bumi, mengetahui hati dan bercampurnya malaikat dan syeitan-syeitan
didalam hati manusia, mengetahui surga dan neraka, adzab kubur, shirath, mizan
dan hisab. Mengetahui sebuah makna pertemuan dengan Allah Azza wajalla dan
melihat kepada wajah_Nya yang maha mulia, dsb. Inilah ilmu yang tidak tertulis
didalam buku dan tidak dibicarakan kecuali ahlinya saja yang bisa merasakannya.
Dilakukan dengan jalan berdzikir dan secara rahasia. Ilmu ini adalah ilmu yang
kurang terlihat.[25] Penjelasan tentang ilmu ini akan dijelaskan panjang
dibab-bab berikutnya.
-Referensi:
**
Makalah perdana Kajian Kitab Klasik (Triple K) di Universitas Islam
Antarbangsa, Malaysia.
16] Imam
Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin (Bairut: Darul Kutub al-Ilmiyah), Jilid
1, Cet k3, hal.22
[17] Ibid,
hal. 23
[18] Ibid,
hal. 23
[19] Ibid,
hal 24
[20] Ibid,
hal. 24
[21]
Fazlul Karim, Revival of Religious learning Imam Ghazali’s Ihya
‘ulumuddin. (Karachi: Darul-ishat), vol 1, 1993
[22] Ibid,
hal 23
[23] Ibid,
hal. 26
[24] Ibid,
hal. 22
[25]
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنّ من العلم كهيئة المكنون لا يعلمه إلا أهل المعرفة بالله تعالى، فإذا نطقوا به لم يجعله إلا أهل الاغترار بالله تعالى علما منه، فإن الله عز وجل لم يحقره إذ آتاه إياه (Ihya,
Ibid, hal. 27)
[Penulis : Fejri
Gasman, fejrigasman.wordpress.com]
->BERSAMBUNG KE BAGIAN IV
Posting Komentar
Posting Komentar