Dalil Tabarruk dari Pusara (Kuburan) Rasulallah saw:
Pada kajian lalu telah kami sebutkan beberapa hadits
yang menjelaskan bahwa para Salaf Sholeh telah melakukan pengambilan berkah
dari peninggalan-peninggalan Rasulallah saw. seperti sandal, tongkat, baju, bahkan
mereka selalu mengusap-usap mimbar Nabi saw. dan mengusapkannya ke wajahnya.
Saat ini beberapa piihak sudah menetapkan pelarangan terhadap para jama’ah haji yang ingin melakukannya sebagaimana yang
dilakukan oleh para sahabat terhadap mimbar Rasulallah saw.. Kajian dan telaah
kami berikut ini pada pembahasan; ‘Tabarruk terhadap Kuburan/Pusara’ yang juga dilakukan oleh Salaf Sholeh dan prinsip dasar Ahlusunah wal Jama’ah, termasuk masalah
pembolehan tabarruk terhadap kuburan/makam Rasulullah saw. Para sahabat
Rasul saw. juga mengamalkannya.
Dawud bin Abi Shaleh mengatakan: “Suatu saat Marwan
bin Hakam datang ke Masjid (Nabawi). Dia melihat seorang lelaki telah
meletakkan wajahnya di atas makam Rasul. Kemudian Marwan menarik leher dan mengatakan:
‘Sadarkah apa yang telah engkau lakukan?’. Kemudian lelaki itu menengok kearah
Marwan (ternyata lelaki itu adalah Abu Ayyub al-Anshari ra) dan mengatakan:
‘Ya, aku bukan datang untuk seonggok batu, aku datang di sisi Rasulallah’. Aku
pernah mendengar Rasulallah bersabda: ‘Sewaktu agama dipegang oleh pakarnya
(ahli) maka janganlah menangis untuk agama tersebut. Namun ketika agama
dipegang oleh yang bukan ahlinya maka tangisilah’ ”. (Lihat: Mustadrak ala
as-Shohihain karya al-Hakim an-Naisaburi Jilid: 4
Halaman: 560 Hadits ke-8571 atau Wafa’ al-Wafa’ karya
Samhudi Jilid: 4 Halaman 1404).
Juga riwayat semacam itu bisa dirujuk didalam
kitab-kitab: Ibnu Hibban dalam shahihnya, Imam Ahmad (5:422), Tabarani didalam
Mu`jam al-Kabir (4:189) dan didalam ‘Awsat’ disahkan oleh Haithami dalam
al-Zawa'id (5:245), Al-Hakim dalam Mustadrak (4:515), Al-Dhahabi menshahihkan
juga, al-Subki didalam Shifa' al-Siqam halaman 126, Ibnu Taimiyyah dalam
al-Muntaqa 2:261f, Haithami dalam al-Zawa'id 4:2). Hadits di atas (dari Hakim
an-Naisaburi) telah dinyatakan keshohihannya oleh adz-Dzahabi. Sehingga tidak
ada seorang ahli hadits lain yang meragukannya.
Atas dasar hadits diatas maka, as-Samhudi dalam kitab
Wafa’ al-Wafa’ jilid: 4 halaman: 1404 menyatakan bahwa; “jika sanad haditsnya
dinyatakan baik (benar) maka menyentuh tembok kuburan (makam) tidak bisa dinyatakan
makruh”. Nah, jika hukum makruh saja tidak bisa ditetapkan apalagi hukum haram,
sebagai perwujudan dari perbuatan syirik sebagaimana yang ‘dihayal kan’ oleh
madzhab Salafi (baca: Wahabi).
Hadits diatas itu jelas menunjukkan disamping ziarah
kepada Rasulallah saw. juga pengambilan barokah dari makam Rasulallah saw.
Ziarah kubur dengan tujuan pengambilan barokah semacam itu tidaklah mengapa, bukan
tergolong syirik ataupun bid’ah sebagaimana yang dianggap oleh kaum Wahhabi.
Bila tidak demikianmengapa Abu Ayyub ra. tidak cukup beri salam dan berdo’a
kepada Allah swt. tanpa di iringi dengan menempelkan wajahnya diatas pusara
Nabi saw.? Dalam konteks riwayat itu juga tidak jelas di sebutkan apa penyebab
teguran Marwan terhadap Abu Ayyub. Ada banyak kemungkinan di sini. Yang jelas
bukan karena syirik atau bid’ah, karena kalau benar semacam itu niscaya Marwan
akan tetap bersikeras melarang perbuatan Abu Ayyub tersebut. Bila orang ingin
menjalankan Amar makruf nahi munkar tidak perduli siapa yang berbuat (baik itu
sahabat maupun bukan sahabat) harus dicegah perbuatan munkarnya. Lalu mengapa
Marwan menghentikan tegurannya ketika melihat bahwa yang melakukannya adalah
Abu Ayyub?
Adapun teguran Marwan jelas tidak bisa disamakan
dengan teguran para muthowwi’ (rohaniawan Wahhabi) di sekitar tempat-tempat
suci di Saudi Arabia. Karena muthowwik itu dengan jelas langsung menvonis
syirik, bukan karena rasa khawatir syirik, tidak lain karena kesalahan mereka
dalam memahami dan mempraktekkan kaidah Syadzudz Dzarai dan dalam menentukan
tolok ukur antara Tauhid dan syirik.
Bila apa yang dilakukan Abu Ayyub al-Anshari seorang sahabat besar Rasulallah
itu tergolong perbuatan syirik maka mungkin-
kah seorang sahabat besar semacam beliau melakukan perbuatan syirik atau akan
berbuat sesuatu yang mengakibatkan kekufuran atau kesyirikan?
Sudah Tentu Tidak Mungkin! Beranikah golongan
pengingkar menyatakan bahwa Abu Ayyub al-Anshari pelaku syirik karena tergolong
penyembah kubur (quburiyuun)?
Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan: “Suatu
saat, Bilal (al-Habsyi) bermimpi bertemu dengan Rasulallah. Beliau bersabda
kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan ketidak perhatianmu
(jafa’)? Apakah belum datang saatnya engkau menziarahiku?’. Selepas itu, dengan
perasaan sedih, Bilal segera terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya
menuju ke Madinah. Bilal mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas
meletakkan wajahnya di atas pusara Rasul. Selang beberapa lama, Hasan dan Husein (cucu Rasulallah) datang. Bilal
mendekap dan mencium keduanya”. (Tarikh Damsyiq jilid 7 halaman: 137; Usud
al-Ghabah karya Ibnu Hajar jilid: 1 hal. 208; Tahdzibul Kamal jilid: 4 hal.
289, dan Siar A’lam anNubala’ karya Adz-Dzahabi jilid: 1 Halaman 358)
Bilal menganggap ungkapan Rasulallah saw. dalam
mimpinya sebagai teguran dari beliau saw., padahal secara dhohir beliau saw.
telah wafat. Jika tidak demikian, mengapa sahabat Bilal datang jauh-jauh dari
Syam menuju Madinah untuk menziarahi Rasulallah saw.? Kalau Rasulallah
benar-benar telah wafat sebagaimana anggapan
golonganpengingkar bahwa yang telah wafat itu sudah tiada
maka Bilal tidak perlu menghiraukan teguran Rasulallah itu. Apa yang dilakukan
sahabat Bilal juga bisa dijadikan dalil atas ketidakbenaran paham Wahabisme
–pemahaman Ibnu Taimiyah dan Muhamad bin Abdul Wahhab– tentang pelarangan
bepergian untuk ziarah kubur sebagaimana yang mereka pahami tentang hadits
Syaddur Rihal.
Walaupun mimpi tak dapat dijadikan dalil untuk
memecahkan hukum syariat, namun mimpi dapat dijadikan dalil sebagai manakib,
sejarah dan lainnya. Misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka
tentunya hal itu dijadikan dalil atas kebangkitan Nabi saw. Dan masih banyak
riwayat mengenai kisah mimpi para Rasul dan para sahabat Nabi saw, yang diakui
oleh para imam yang meriwayatkannya, dan tidak mengingkarinya.Tentunya hal itu
menjadi dalil bagi kita, tentang kebenaran riwayatnya.
Ibnu Hamlah menyatakan: “Abdullah bin Umar meletakkan
tangan kanannya di atas pusara Rasul dan Bilal pun meletakkan pipinya di atas
pusara itu”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid: 4 Halaman: 1405)
Apa maksud Ibnu Umar dan Bilal meletakkan tangan di
pusara Rasulallah? Mengapa para pengingkar menvonis syirik kepada
penziarah yang ingin mengusap teralis besi penutup pusara Rasulallah saw. dan
kedua sahabatnya? Apakah mereka ini juga menganggap semua hadits yang telah
dikemukakan itu dho’if, palsu, maudhu’ dan lain sebagainya, karena berlawanan
dengan pahamnya?
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib kw. bahwa:
“Sewaktu Rasulullah dikebumikan, Siti Fatimah –puteri Rasul satu-satunya–
bersimpuh disisi kuburan Rasulallah dan mengambil sedikit tanah makam
Rasulallah kemudian diletakkan diwajahnya dan sambil menangis ia pun membaca
beberapa bait syair….”. (al-Fatawa al-Fiqhiyah karya Ibnu Hajar jilid 2 hal.18,
as-Sirah an-Nabawiyah jilid 2 hal.340, Irsyad as-Sari jilid 3 hal. 352
dsb.nya).
Jika apa yang dilakukan Siti Fatimah tersebut adalah
Syirik atau Bid’ah maka mengapa ia melakukannya? Apakah dia tidak pernah
mengetahui apa yang telah diajarkan oleh ayahnya (Rasulullah)? Apakah mungkin khalifah
Ali bin Abi Thalib membiarkan istrinya terjerumus ke dalam kesyirikan dan
Bid’ah yang dilarang oleh beliau saw. (versi pengingkar)? Bukankah keduanya
adalah keluarga dan sahabat Rasulallah yang tergolong Salaf Sholeh, yang konon
akan diikuti oleh kelompok pengingkar tersebut ?
Seorang Tabi’in bernama Ibnu al-Munkadir pun pernah
melakukannya (bertabarruk kepada kuburan Rasulallah). “Suatu ketika, di saat
beliau duduk bersama para sahabat nya, seketika lidahnya kelu dan tidak dapat
berbicara. Beliau langsung bangkit dan menuju pusara Rasulallah dan meletakkan
dagunya di atas pusara Rasulallah kemudian kembali. Melihat hal itu, seseorang
mempertanyakan perbuatannya. Beliau menjawab: ‘Setiap saat aku mendapat
kesulitan, aku selalu mendatangi kuburan Nabi’ ”. (Lihat: Wafa’ al-Wafa’ Jilid:
2 Halaman: 444).
Imam Ahmad ibn Hanbal; Imam Madzhab Hanbali dalam
kitab al Jami’ fi al ‘Ilal wa Ma’rifati ar-Rijal. menyatakan kebolehan
menyentuh dan meletakkan tangan di atas makam Nabi Muhammad s.a.w, menyentuh mimbarnya
dan mencium makam dan mimbar tersebut apabila diniatkan untuk bertaqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah dengan bertabarruk.
Atas dasar hadits-hadits tadi akhirnya as-Samhudi
menyatakan dalam kitab Wafa’ al-Wafa’-nya (jilid: 1 Halaman: 544) bahwa;
“Mereka (para sahabat) dan selainnya (Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in) sering
mengambil tanah dari pusara Rasulallah. Aisyah (ummul mukminin) ra.
membangunnya dan menutup pusara itu dengan terali. Dikatakan: ‘Ditutup olehnya
(Aisyah) karena menghindari habisnya tanah pusara dan kerusakan bangunan di
atasnya’ ”.
Masihkah golongan pengingkar yang mengatas namakan
diri sebagai pengikut dan penghidup ajaran Salaf Sholeh itu hendak menuduh kaum
muslimin yang bertabarruk terhadap peninggalan Nabi sebagai pelaku syirik dan
bid’ah? Kalaulah secara esensial pengambilan berkah dari kuburan adalah syirik
maka setiap pelakunya harus diberi titel musyrik, tidak peduli sahabat
Rasulallah atau pun orang awam biasa ! Beranikah golongan ini menjuluki mereka
sebagai “para penyembah kubur” (Kuburiyuun)?, sebagai mana istilah ini sering
diberikan kepada kaum muslimin yang suka mengambil berkah dari kuburan Nabi dan
para manusia kekasih Allah (Waliyullah) lainnya?
SUDAH JELAS BAHWA DARI RIWAYAT-RIWAYAT DI ATAS BERTABARRUK MELALUI KUBURAN NABI DAN PARA SOLIHIN (WALIYULLAH) ADALAH TIDAK DILARANG BUKANKAH PARA WALIYULLAH/WALIYYAN MURSYIDAN ADALAH PARA PEWARIS RASULALLAH SAW.
(bersambung ke bagian 12 )
sumber: everyoneweb.com/tabarruk/
Posting Komentar
Posting Komentar