Antar
Para Sahabat pun Saling Bertabarruk:
Pertama-tama,
kita akan melihat beberapa tekts tentang: apakah diperbolehkan mengambil berkah
dari selain Nabi, seperti para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ Tabi’in dan para manusia
sholeh dan bertakwa pasca masa mereka?
Kita di
sini akan melihat beberapa tekts yang membuktikan bahwa para sahabat satu
dengan yang lain dan diantara mereka telah saling mengambil berkah. Sedang kita
tahu bahwa ,menurut Ahlusunah wal Jama’ah, para sahabat adalah Salaf Sholeh
yang layak ditiru dan diikuti.
Imam
an-Nawawi dalam kitab “al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab” (jilid 5 hal. 68) dalam
Kitabus-Shalat dan dalam Babus-Shalatul-Istisqo’ yang menukil riwayat bahwa
Umar bin Khatab telah meminta do’a hujan melalui ‘Abbas (paman Rasulallah) sebagaimana
yang telah kita kemukakan sebelumnya dengan menyatakan: ‘Ya Allah, Dahulu jika
kami tidak mendapat hujan maka kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami,
lantas engkau menganugerahkan hujan kepada kami. Dan kini, kami bertawassul
kepada-Mu melalui paman Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan bagi kami. Kemudian
turun lah hujan’. (Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa; Abu Zar’ah ad-Damsyiqi
juga telah menyebutkan kisah ini dalam kitab sejarahnya dengan sanad yang
shahih).
Dalam
kitab yang sama diatas, disebutkan bahwa Muawiyah telah meminta hujan melalui
Yazid bin al-Aswad dengan mengucapkan: “Ya Allah, kami telah meminta hujan
melalui pribadi yang paling baik dan utama di antara kami (sahabat, red). ‘Ya
Allah, kami meminta hujan melalui diri Yazid bin al-Aswad. Wahai Yazid,
angkatlah kedua tanganmu kepada Allah’. Ia mengangkat kedua tangannya diikuti
oleh segenap orang (yang berada disekitarnya). Maka mereka dianugerahi hujan
sebelum orang-orang kembali ke rumah masing-masing”.
Ibnu
Hajar dalam kitab ‘Fathul Bari’ (Syarah kitab Shohih al-Bukhari) pada jilid 2
halaman 399 dalam
menjelaskan
peristiwa permintaan hujan oleh Umar bin Khatab melalui Abbas, menyatakan:
“Dapat diambil suatu pelajaran dari kisah Abbas ini yaitu, dimustahabkan
(sunnah) untuk meminta hujan melalui pemilik keutamaan dan kebajikan, juga
ahlul bait Nabi”.
Ibnu
Atsir dalam kitab ‘Usud al-Ghabah’ (Jilid: 3 Halaman: 167) dalam menjelaskan
tentang pribadi [tarjamah] Abbas bin Abdul Mutthalib pada nomor ke-2797
menyatakan: “Sewaktu orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk
menyentuhi Abbas dan mengatakan: ‘Selamat atasmu wahai penurun hujan untuk Haramain’.
Saat itu para sahabat mengetahui, betapa keutamaan yang dimiliki oleh Abbas
sehingga mereka mengutama- kannya dan menjadikannya sebagai rujukan dalam
bermusyawarah”.
Sewaktu Umar bin Khatab melamar Ummu Kultsum (putri Ali bin Abi Thalib), ia
mengatakan: ‘Aku ingin masuk menjadi bagian dari Rasulallah’.
As-Samhudi dalam kitab “Wafa’ al-Wafa’” (jilid 2 hal. 448) menyatakan bahwa;
”Dahulu, Ali bin Abi Thalib selalu duduk di depan serambi yang ber- hadapan
dengan kuburan (Rasulallah, red). Di situ terdapat pintu Rasulallah yang
didepannya terdapat jalan yang dipakai Nabi keluar dari rumah Aisyah untuk
menuju Masjid (Raudhah). Di tempat itulah terdapat tiang (pilar) tempat shalat
penguasa (amir) Madinah. Ia (Ali bi Abi Thalib) duduk sambil menyandari tiang
itu. Oleh karena itu, Al-Aqsyhary mengatakan: ‘Tiang tempat shalat Ali itu hingga
kini sangat disembunyikan dari para pengunjung tempat suci (Haram) agar para
penguasa dapat (leluasa) duduk dan shalat di tempat itu, hingga hari ini’.
Disebutkan bahwa tempat itu disebut dengan ‘Tempat para Pemimpin’ (Majlis
al-Qodaat) karena kemuliaan orang yang pernah duduk di situ (yaitu Ali bin Abi
Thalib, red)”.
Dalam
kitab yang sama di atas, as-Samhudi (pada jilid 2 hal. 450) menukil dari Muslim
bin Abi Maryam dan pribadi-pribadi lain yang menyatakan: “Pintu rumah Fatimah
binti Nabi saw. terletak di ruangan segi empat yang berada di sisi kubur.
Sulaiman berkata: Muslim telah berkata kepadaku: ‘Jangan engkau lupa untuk mengerjakan
shalat di tempat itu. Itu adalah pintu rumah Fatimah dimana Ali bin Abi Thalib
selalu melewatinya’
”.
Ibn
Sa’ad dalam kitab ‘at-Thabaqoot al-Kubra’ (jilid 5 hal. 107) menukil riwayat
yang menyatakan: “Sewaktu Husein bin Ali bin Thalib meninggalkan Madinah untuk
menuju Makkah, ia bertemu dengan Ibn Muthi’ yang sedang menggali sumur. Ia
berkata kepada Husein: ‘Aku telah menggali sumur ini tetapi tidak kudapati air dalam
ember sedikit pun. Jika engkau berkenan untuk mendo’akan kami kepada Allah
dengan berkah’. Husein berkata: ‘Berikan sedikit air yang kau punya’!. Kemudian
diberikan kepadanya air lalu ia meminumnya sebagian dan berkumur-kumur dengan
air tadi kemudian mengembalikannya ke dalam sumur. Seketika itu sumur menjadi
memancarkan
air dengan melimpah” .
Ibnu
Hajar dalam kitab ‘as-Showa’iq al-Muhriqoh’ (halaman 310 pasal ke-3 tentang
hadits-hadits yang berkaitan dengan ahlul bait) menyebutkan: “Ketika ar-Ridho
(salah seorang keturunan Rasulallah, red) sampai di kota Naisabur, orang-orang
berkumpul disekitar kereta tunggangannya. Ia mengeluarkan kepalanya dari jendela
kereta sehingga dapat dilihat oleh khalayak. Kemudian (sambil memandanginya)
mereka berteriakteriak, menangis, menyobek-nyobek baju dan melumuri dengan
tanah, juga men- ciumi tanah bekas jalannya kendaraannya…”. (Hal ini juga
dinukil oleh as-Sablanji dalam kitab ‘Nur al-Abshar’ halaman: 168, pasal Manaqib
Sayid Ali ar-Ridho bin Musa al-Kadzim)
Di atas
tadi adalah sebagian contoh bahwa para sahabat pun telah bertabarruk dari
pribadi-pribadi yang dianggap lebih mumpuni dari sisi kebaikan dan ketaatan
dibanding dengan yang lain. Ini sebagai bukti bahwa mengambil berkah dari
orang-orang sholeh dan dianggap lebih bertakwa memiliki legalitas dalam ajaran
Islam, karena para Salaf Sholeh telah melakukannya.
Dari
kisah di atas juga dapat dipahami bahwa, tidak semua sahabat memiliki kemuliaan
yang sama, terdapat perbedaan derajat ketakwaan dan keutamaan di antara mereka.
Dan dari nukilan riwayat-riwayat tadi dapat diambil kesimpulan bahwa, hanya
orang-orang yang Sholeh dan bertakwa saja yang dapat diambil berkahnya, baik
pribadi orang Sholeh itu, do’anya maupun peninggalan-peninggalannya. Adapun
orang yang tidak sholeh dan takwa, obyek-obyek yang tidak memiliki kesakralan
Ilahi, maka jelas sekali bahwa semua itu diluar dari obyek kajian kita.
Dari
riwayat-riwayat itu juga dapat kita ambil pelajaran untuk menjawab anggapan
orang-orang seperti al-Jadi’ dalam kitabnya yang berjudul “At-Tabarruk;
‘Anwa’uhu wa Ahkamuhu” halaman: 261 dan as-Syatibi –dalam karyanya yang
berjudul ‘al-I’tisham’ jilid 2 halaman: 9, dimana keduanya sepakat bahwa;
‘Tabarruk hanya diperbolehkan kepada diri dan peninggalan Rasulallah saja’. Hal
itu karena mereka beralasan bahwa Rasulallah tidak pernah memerintahkannya.
Selain itu, alasan lainnya adalah; ‘Tidak ada riwayat yang menjelaskan
legalitas prilaku semacam ini’ (tabarruk kepada pribadi selain Nabi). Bahkan
as-Syatibi menyatakan bahwa; ‘Barangsiapa yang melakukan hal itu maka tergolong
bid’ah, sebagaimana tidak diperbolehkannya mengawini perempuan lebih dari
empat’.
Telah
jelas riwayat-riwayat di atas membuktikan bahwa para Sahabat telah mengambil
berkah kepada sesama sahabat yang dianggap lebih utama dari sisi ketakwaan.
Entahlah mengapa al-Jadi’ dan as-Syatibi tidak pernah menemukan riwayat-riwayat
semacam itu?. Lagi pula, jika bertabarruk kepada sahabat adalah bid’ah, mengapa
sahabat Umar telah bertabarruk kepada Abbas? Apakah khalifah Umar telah
melakukan Bid’ah, karena melakukan satu perbuatan yang Rasulallah saw. tidak
pernah memerintahkan dan mencontohkannya? Beranikah orang menvonis sahabat
seperti Umar bin Khatab (khalifah kedua) sebagai ahli Bid’ah?
Walaupun
Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkannya tetapi bukan berarti otomatis
bertabarruk selain kepada beliau saw. itu sebagai amalan bid’ah, haram dan
sebagainya. Mengapa justru al-Jadi dan as-Syatibi berani melarangnya?,
sedangkan Rasulallah saw. sendiri tak pernah melarangnya ! Sekarang yang
menjadi masalah adalah, jika tadi telah ditkemukakan bahwa selain peninggalan
Nabi saw., peninggalan para Sahabat Nabi pun boleh untuk diambil berkah- nya
sewaktu masa hidup mereka, bagaimana dengan perkara tadi setelah kewafatan
mereka?
Dan
yang menjadi pertanyaan kita selanjutnya adalah; Bolehkah kita (kaum muslimin)
mengambil berkah dari orang biasa (bukan Nabi dan juga bukan Sahabat Nabi)
namun dia tergolong orang Sholeh dan bertakwa? Apakah pengambilan berkah dari
mereka hanya sebatas sewaktu mereka masih hidup ataukah juga diperbolehkan
untuk mengambil berkah dari jenazah (jasad orang yang telah mati) dan kuburan
mereka? Untuk menjawab syubhat ini –selain telah kita singgung sebelumnya bahwa
para sahabat telah mengambil berkah dari kuburan Rasulallah akan kita jelaskan
berikut ini bahwa tidak hanya dibatasi pada orang Sholeh yang masih hidup saja,
bahkan pasca kematiannya pun masih bisa (legal) untuk ditabarruki, tidak
seperti sangkaan beberapa kalangan yang dengan tegas menyatakannya sebagai
perbuatan syirik.
(bersambung ke bagian 13 )
sumber: everyoneweb.com/tabarruk/
Posting Komentar
Posting Komentar