Pemahaman ilmu
agama yang mendalam menghasilkan keimanan dan ketaqwaan yang luar biasa,
terutama di kalangan pemudanya. Dengan keimanan dan ketakwaan itu mereka
mempunyai semangat pengorbanan yang luar biasa.
Kisah kehidupan
manusia mulai dari penciptaan Nabi Adam AS sampai manusia tersebar ke seluruh
penjuru bumi adalah kisah yang tak habis-habisnya untuk ditulis dan dibahas.
Buku karya Dr.
H. A. Madjid Bahafdullah yang berjudul Dari Nabi Nuh Sampai Orang
Hadhramaut di Indonesia, Menelusuri Asal Usul Hadharim ini berkisah banyak
tentang jejak dakwah yang dilakukan para dai Hadharamaut (Yaman) menuju Nusantara,
khususnya Indonesia.
Kisah yang abadi
dalam tradisi agama samawi, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, yang secara
jelas diceritakan dalam kitab suci masing-masing, adalah terjadinya peristiwa
banjir besar yang pernah melanda bumi kita di zaman Nabi Nuh AS.
Sekalipun dalam
ketiga kitab suci tersebut tidak diberikan informasi yang jelas tentang tempat
dan waktu kejadiannya, para penganutnya bisa memaklumi, karena kitab suci
memang bukan buku sejarah. Namun kisahnya yang diuraikan dalam kitab suci
tersebut cukup meyakinkan bahwa peristiwa tersebut pernah terjadi di bumi
kita ini.
Adapun mengenai
kapan dan di mana tempat kejadiannya, mungkin sengaja dirahasiakan oleh Yang
Maha Kuasa, agar manusia kreatif mencari dan menemukan sendiri jawabannya. Dan
ternyata rahasia Allah SWT tersebut secara perlahan semakin terkuak.
Sebuah
penelitian arkeologi dengan menggunakan peralatan dan teknik yang canggih
baru-baru ini untuk kesekian kali telah menemukan artefak bahtera Nabi Nuh AS
di Gunung Judi, di pegunungan Ararat, Turki Timur, pada ketinggian 4.000 m di
atas permukaan laut.
Pada waktu
kejadian banjir besar tersebut jumlah manusia yang tersisa hanya 78 orang.
Terdiri dari Nabi Nuh beserta istri, tiga orang anaknya dengan istri masing-masing,
dan 70 orang beriman. Dalam surah Nuh ayat 26 disebutkan, “Nuh berkata, ‘Ya
Rabb, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu
tinggal di atas bumi’.”
Umat Nabi Nuh AS
terputus dengan generasi sebelumnya. Dengan demikian generasi berikutnya merupakan
generasi baru yang dilahirkan oleh anak keturunan Nabi Nuh AS, seperti firman
Allah SWT, “Kami telah menyelamatkan dia dan pengikutnya dari bencana yang
besar. Dan Kami jadikan anak-cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan.
Dan Kami abadikan untuk Nuh (ujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.”
— QS Ash-Shaffat (37): 76-78.
Nabi Nuh AS,
yang hidup 146 tahun setelah Nabi Adam AS, dikaruniai umur panjang, yaitu lebih
dari 950 tahun (3993-3043 SM). Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami telah
mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia tinggal bersama mereka selama seribu
tahun kurang lima puluh tahun.” — QS Al-Ankabut (29): 14.
Nabi Nuh AS
diangkat menjadi nabi ketika usia beliau 480 tahun. Nabi Nuh AS adalah nabi
ketiga dan ia adalah keturunan Nabi Adam AS yang kesembilan.
Seperti telah
banyak diketahui, Nabi Nuh AS memiliki empat orang anak. Anak pertama bernama
Kan’an, yang hilang ditelan banjir karena tidak menuruti ajakan ayahnya ikut
dalam perahu. Tiga anak yang lain adalah Yafits, Ham, dan Sam, yang menurunkan
bangsa-bangsa di dunia. Ketiga nama tersebut berasal dari bahasa Semitis:
Yafits berarti “terbuka”, Ham berarti “hangat”, dan Syam berarti “sejahtera”.
Sejak semula
keturunan Nabi Nuh AS ini bermukim di Babilon wilayah Mesopotamia, kemudian
menyebar ke berbagai penjuru dunia. Kelompok pertama yang meninggalkan daerah
Babilon adalah anak-anak Yafits bin Nuh, mereka tujuh bersaudara dan menyebar
ke arah timur dan utara.
Setelah itu
disusul tujuh bersaudara anak-anak Ham bin Nuh, mereka menuju ke arah selatan
dan barat.
Sementara itu
anak Syam bin Nuh tetap tinggal bersama sepupu mereka, Jamm, yang menjadi raja
Babilon. Namun kemudian sekitar tahun 3000-2500 SM keturunan mereka pun
menyusul hijrah menuju selatan, yaitu ke wilayah Hejaz, Nejed, dan Yaman.
Suku keturunan
Syam bin Nuh yang hijrah ke wilayah Yaman ada dua. Suku kelompok pertama di
bawah pimpinan ‘Ad bin Jaloud bin Ars bin Iram bin Syam bin Nuh, yang kemudian
disebut bani ‘Ad, menuju suatu tempat bernama Al-Ahqaf, suatu wilayah antara
Yaman (Hadhramaut) dan Oman, yang membentang sampai ke Laut Arab di lembah
Mughits.
Suku kelompok
kedua di bawah pimpinan Qahthan bin Abir bin Salih bin Arfakshad bin Syam bin
Nuh, yang disebut bani Qahthan, bergerak menuju suatu tempat yang sekarang
bernama Ma’arib, sebuah wilayah di Yaman.
Pengislaman
Yaman
Menjelang
masuknya Islam, Yaman masih menjadi jajahan Persia Sasaniyah, yang dijadikan
daerah setingkat provinsi, dipimpin seorang gubernur. Yang menjabat gubernur saat
itu seorang Persia bernama Badhan berkedudukan di Sana’a, ibu kota Yaman. Waktu
itu Rasulullah SAW bersama para sahabat sudah melakukan dakwah menyebarkan
agama tauhid ke berbagai wilayah, termasuk ke negeri Yaman.
Tahun 628 M,
melalui seorang utusan, Rasulullah SAW mengirim surat kepada Gubernur Badhan
di Yaman untuk disampaikan kepada Parvez Khosrou II, raja Persia, yang berisi
ajakan untuk memeluk Islam.
Setelah membaca
surat itu, Parvez Khosrou II marah dan langsung merobek-robek surat tersebut
sambil memerintahkan sang gubernur agar menyuruh Rasulullah SAW menghadap
ke istananya.
Mendengar itu,
Rasulullah SAW mengatakan bahwa jawabannya akan disampaikan besok harinya.
Keesokan harinya
utusan yang sudah tidak sabar tersebut menanyakan jawaban Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW
pun dengan tenang menjawab, “Yang memanggilku telah lebih dulu dipanggil
Allah SWT.”
Benar saja,
sehari sebelumnya Khosrou II mati terbunuh dalam perebutan kekuasaan dengan
anaknya di istana Mada’in.
Kepada utusan
tersebut Rasulullah SAW memerintahkan supaya kembali ke Sana’a sambil
menyampaikan pesan beliau yaitu kalau Gubernur Badhan mau menerima Islam
dipersilakan untuk terus memimpin atas nama kaum muslimin.
Badhan pun
langsung menerima tawaran tersebut. Dan setelah mengucapkan syahadat, ia pun
dilantik menjadi gubernur Islam yang pertama di Yaman.
Muslimnya Badhan
disambut gembira oleh suku-suku bangsa Arab Yaman dan mereka
berbondong-bondong memeluk agama Islam pula. Peristiwa ini merupakan momen
yang sangat penting bagi Yaman karena telah mengubah secara dratis budaya lama
yang sudah berusia lebih dari tiga ribu tahun.
Sejak itu Islam
telah membentuk pribadi Yaman secara spesifik yang tidak mungkin terjadi oleh
pengaruh lain. Pada momen penting itu telah dibangun tiga buah masjid pada
waktu hampir bersamaan. Yaitu Masjid Al-Janad di Taiz, yang dibangun oleh
Muadz bin Jabal RA, Masjid Al-Kabir di Sana’a, yang arah kiblatnya langsung
ditunjukkan oleh Rasulullah SAW, dan Masjid Zabid di Zabid.
Menurut orang
Yaman, Islam bagi orang Yaman tidak sekadar masjid, menara, dan simbol-simbol
Islam lainnya, tapi Islam adalah diri orang Yaman itu sendiri. Karenanya tidak
mengherankan apabila Yaman di zaman Rasulullah SAW dan khulafa ar-rasyidun
telah mengirimkan tidak kurang dari 20 ribu orang untuk berjihad menegakkan
Islam di berbagai negeri.
Satu tahun
setelah masuknya Islam pada tahun 631 M, Badhan, gubernur Islam pertama itu,
wafat, kemudian digantikan oleh anaknya, Shahr bin Badhan.
Pada masa
pemerintahan Shahr bin Badhan muncul seseorang bernama Aswad Al-Ansi, yang
mengaku sebagai nabi. Dia ditakdirkan berwajah jelek, dan untuk menutupinya dia
selalu menggunakan topeng sehingga dijuluki nabi bertopeng. Namun demikian
dia mempunyai pengikut yang sangat banyak sehingga membuat keberaniannya melebihi
orang lain.
Pada suatu
pertarungan dia berhasil membunuh Shahr bin Badhan dan langsung mengangkat
dirinya sebagai raja Yaman. Dia tidak mau mengakui kenabian dan kekuasaan
Rasulullah SAW atas Yaman.
Setelah berhasil
merebut kekuasaan, dia memaksa Azad, janda Shahr bin Badhan, yang cantik dan
cerdas, untuk diperistri, namun Azad menolaknya.
Dengan bantuan
seorang menteri bernama Feyroz dan panglima perang bernama Qais bin Abdul
Yaguth, ia berhasil membunuh Aswad Al-Ansi dan kemudian mengangkat dirinya
sebagai ratu Yaman.
Namun tidak
berapa lama kemudian persekutuan Feyroz, yang berkebangsaan Persia dan Qais
bin Abdul Yaguth, pecah. Dalam situasi yang kacau itu Qais berkhianat dan
merebut kekuasaan dari Azad.
Untuk memperkuat
posisinya, Qais bersekutu dengan bekas pengikut Aswad Al-Ansi dan suku-suku
Arab yang telah murtad dan bertekad merebut kekuasaan dan mengusir orang-orang
Persia dari Yaman.
Dalam suatu
pesta makan malam yang diselenggarakan oleh Qais bin Abdul Yaguth, terjadi
keributan yang direkayasa. Dalam keributan tersebut seorang tokoh terhormat
bangsa Persia yang diundangnya bernama Datsawaih mati terbunuh. Sedang Feyroz,
yang juga ada pada pesta itu, berhasil lolos dari maut dan langsung melaporkan
peristiwa pemberontakan orang-orang murtad tersebut kepada Khalifah Abu
Bakar RA.
Setelah menerima
laporan tersebut, Khalifah Abu Bakar RA segera memerintahkan Muhajir bin
Umayyah, yang berada di Thaif, dan Ikrimah bin Abu Jahal, yang berada di
Hadhramaut, untuk segera ke Sana’a, menumpas pemberontakan kaum murtadin
tersebut.
Setelah melalui
serangkaian pertempuran yang sengit, Qais ditawan dan langsung dibawa ke
Madinah menghadap Khalifah. Di hadapan Khalifah Abu Bakar RA, ia menyatakan
taubat dan kembali sebagai muslim.
Perang itu
dinamakan Perang Riddah.
Setelah perang
Riddah itu, Feyroz diangkat menjadi gubernur Yaman, yang kemudian diteruskan
oleh keturunannya.
Dinasti Persia
di Yaman berakhir setelah Yahya bin Hasan, seorang keturunan Sayyidina Hasan
RA, mengambil alih kekuasaan pada 898 M.
Bersambung ke Bagian II
Sumber: majalah-alkisah.com
Posting Komentar
Posting Komentar