Menu

TQN PP.Suryalaya

 

(Sambungan dari Bagian I)

Islam Menyebar

Sejenak kembali ke masa Gubernur Badhan. Setelah tersebar kabar bahwa Badhan, gubernur Yaman, memeluk Islam, agama Islam pun menyebar de­ngan cepat di Jazirah Arab bagian se­latan. Orang-orang Hadhramaut waktu itu pun tidak mau ketinggalan dengan suku Arab lainnya yang berasal dari utara. Me­reka mengirim sejumlah utusan ke Madi­nah untuk berbai’at menyatakan keislam­annya langsung di hadapan Rasulullah SAW.
Mereka berminggu-minggu menem­puh jarak ribuan kilometer menempuh gu­­run pasir menuju Madinah untuk me­nun­jukkan kesetiaan yang tulus terha­dap Islam.
Di antara utusan itu terdapat kelom­pok Bani Kindah, yang dipimpin Asy’ats bin Qais Al-Kindi, yang waktu itu sangat ter­kenal. Untuk menunjukkan rasa hor­matnya, Asy’ats bin Qais menghadap de­ngan pakaian indah dari bahan sutra sam­bil tidak lupa memperkenalkan diri­nya sebagai keturunan Aqil bin Murrar, yang katanya satu keturunan dengan ibun­da Rasulullah SAW.
Mereka diterima dengan baik penuh persaudaraan oleh Rasulullah SAW, dan diingatkan agar mereka tidak memakai pakaian sutra dan tidak membangga-banggakan keturunan, karena hal itu di­larang oleh Islam. Asy’ats pun menurut dan langsung merobek pakaiannya untuk diganti dengan pakaian lain ber­bahan sederhana.
Memang Asy’ats bin Qais Al-Kindi memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah SAW melalui jalur ibu, Siti Aminah binti Wahab, dari Bani Abdul Manaf bin Zurrah bin Kilab.
Rombongan lain dari Hadhramaut yang datang ke Madinah adalah rom­bongan yang dipimpin Qais bin Salamah Al-Ju’fi dan Rabiah bin Murahhab Al-Hadhrami, kemudian disusul oleh rom­bongan lainnya.
Besarnya antusiasme orang Yaman terhadap Islam diimbangi sikap Rasul­ullah SAW dengan mengirim para saha­bat untuk berdakwah di Yaman dan se­kitarnya. Di antara para sahabat itu ada­lah:

Ziyad bin Lubaid
Ziyad bin Lubaid adalah seorang Anshar, pahlawan Islam yang menjadi gubernur Islam pertama di Hadhramaut berkedudukan di Dhofar, Oman. Ia me­merintah sampai tahun 636 M, yaitu sam­­pai masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab.
Pada masa pemerintahannya tahun 633 M terjadi pertikaian dengan Asy’ats bin Qais Al-Kindi, kepala suku Bani Kin­dah, orang Hadhramaut pertama yang masuk Islam.
Penyebab pertikaian itu sebenarnya hanya masalah sepele, namun karena ter­­jadi salah pengertian akhirnya ber­kem­­bang menjadi pertikaian sengit, bah­kan menjadi perang besar.
Kisahya, kesalahpahaman bermula ketika Asy’ats bin Qais Al-Kindi menye­rah­kan seekor sapi untuk zakat. Bela­kang­an Asy’ats mengetahui bahwa sapi yang diserahkannya untuk zakat itu ter­bukti bukan miliknya, tapi sapi milik sau­daranya. Oleh sebab itu ia minta agar Gu­bernur Ziyad bin Lubaid berkenan me­ngem­balikannya untuk ditukar de­ngan sapi miliknya sendiri. Namun, per­mintaan itu ditolak oleh gubernur.
Karena permintaan itu ditolak, kepala suku itu pun menyuruh anak buahnya un­tuk mengambil sapi tersebut secara diam-diam. Namun malang, perbuatan itu ke­tahuan sehingga anak buahnya itu di­tangkap.
Dengan emosi, tokoh-tokoh Bani Kin­­dah memaksa dan meminta agar tahanan tersebut dibebaskan, namun sekali lagi permintaan itu ditolak Guber­nur. Situasi pun memanas, sikap Bani Kindah me­nge­ras dengan menyatakan keluar dari Islam dan menolak mem­bayar zakat dan siap berperang dengan kekuasaan Islam.
Ziyad bin Lubaid pun segera mengi­rim pasukannya dan berhasil menga­lah­kan suku itu, mereka yang ditangkap lang­­sung dijebloskan ke dalam penjara.
Ketika ada tawanan perempuan le­wat di depan rumah Asy’ats bin Qais, perem­puan itu langsung berteriak-teriak minta tolong.
Sang kepala suku pun langsung tu­run ta­ngan menolong dengan menye­rang pe­tugas, setelah membebaskan tawanan tersebut, dia langsung dibawa ke dalam Benteng Nujair. Sambil marah-marah Asy’ats dan perempuan itu me­nyatakan diri keluar dari Islam.
Mendapat reaksi yang tidak terduga dari Bani Kindah, Gubernur pun minta bantuan Madinah sambil terus menge­pung Benteng Nujair.
Khalifah Abu Bakar RA segera me­merintahkan Muhajir bin Umayyah dan Ikrimah bin Abu Jahal, yang sedang ber­ada di Sana’a, untuk membantu menum­pas kaum murtadin Hadhramaut.
Akhir Januari 633, Asy’ats dan pa­sukannya terdesak kemudian masuk dan mengunci diri dalam benteng yang kemu­dian dikepung dari tiga penjuru oleh pa­sukan Ziyad bin Lubaid, Muhajir bin Umayyah, dan Ikrimah bin Abu Jahal.
Asy’ats, yang melihat tidak ada celah sedikit pun untuk meloloskan diri, segera memerintahkan anak buahnya memo­tong pendek bagian depan rambutnya se­bagai tanda siap berperang sampai mati apabila hasil perundingan tidak memuas­kan pihaknya.
Februari 633, sebelum berunding de­ngan Ikrimah bin Abu Jahal, Asy’ats me­nyerahkan benteng dan seluruh isinya ke­cuali sembilan orang saudaranya yang minta untuk dibebaskan. Muhajir meminta daftar nama kesembilan orang tersebut yang ternyata di dalamnya tidak tercan­tum nama Asy’ats.
Muhajir minta agar Asy’ats dibunuh, tapi dicegah oleh Ikrimah.
Jalan perang tidak bisa dihindari, pa­sukan muslim pun langsung menyerbu Benteng Nujair, yang mengakibatkan se­luruh orang yang ada di dalamnya mati ter­bunuh. Asy’ats sendiri ditawan dan di­bawa ke Madinah menemui Khalifah Abu Bakar RA. Sepanjang perjalanan ia me­yakinkan para pengawal bahwa ia akan bertaubat kalau dibebaskan.
Asy’ats bin Qais adalah orang Hadh­ramaut pertama yang masuk Islam. Dan karena ia menyatakan akan bertaubat, Khalifah mengampuninya. Bahkan lebih dari itu, ia pun dinikahkan dengan putri Kha­lifah, Ummu Farwa.
Demikian gembira dan bersyukurnya ia mendapat anugerah yang luar biasa itu sehingga ia pergi ke pasar di kota Ma­dinah dan menyembelih setiap unta yang ditemuinya, dalam sekejap orang-orang pun memperebutkan daging unta. Para pemilik unta marah dan menuntut ganti rugi, dan tuntutan ganti rugi itu langsung dibayarnya.
Asy’ats bin Qais ditunjuk menjadi pang­lima perang dalam ekspedisi pe­nak­lukan Syria, Irak, dan Persia.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, ia diangkat menjadi gubernur Azar­beijan dan wafat di sana.


 Bersambungke Bagian III
 Sumber: majalah-alkisah.com

Posting Komentar

 
Top