(sambungan dar Bagian II)
Muadz bin Jabal
Sahabat lain yang diutus ke Yaman adalah
Muadz bin Jabal RA, yang berdakwah di Sukun dan Kindah di daerah Taiz.
Peninggalannya berupa sebuah masjid bernama Al-Janad yang dibangunnya
sebagai pusat dakwah Islam. Dengan dakwah yang dilakukannya, penduduk Yaman pun
berbondong-bondong berpindah agama, dari agama lama ke pelukan Islam.
Muadz bin Jabal dikenal sebagai sahabat agung
yang pandai baca tulis, suatu pengetahuan yang langka waktu itu. Ia juga
dikenal sebagai pribadi yang supel, ramah, dan akrab dengan semua kalangan.
Kedalaman ilmu dan ketaqwaannya menyebabkan
banyak orang yang meriwayatkan hadits darinya.
Dakwah yang dilakukan para sahabat di
Hadhramaut, selain menyebabkan pesatnya perkembangan Islam di sana dan Yaman
secara keseluruhan, juga telah membangkitkan semangat menuntut ilmu keislaman
yang luar biasa dari orang-orang Hadhramaut. Tidak mengherankan kalau mereka
sangat menguasai cabang-cabang ilmu Islam, seperti ilmu tafsir, ilmu hadits,
ilmu hukum, dan yang lainnya. Ilmu tersebut langsung mereka dapatkan dari para
sahabat.
Pemahaman ilmu agama yang mendalam
menghasilkan keimanan dan ketaqwaan yang luar biasa, terutama di kalangan
pemudanya. Dengan keimanan dan ketaqwaan itu mereka mempunyai semangat
pengorbanan yang luar biasa. Tidak kurang dari 20 ribu orang Hadhramaut dan
Yaman yang ikut bergabung dalam ekspedisi peperangan ke berbagai kawasan
untuk menegakkan panji-panji Islam.
Kelak orang-orang Hadhramaut ini menyebar ke
berbagai pelosok, termasuk ke Nusantara, khususnya Indonesia. Mereka
menyebarkan dakwah sambil berdagang, dan mereka disebut “Hadharim”.
Koloni Hadharim di Indonesia
Sebenarnya kedatangan Hadharim ke Indonesia
sudah berlangsung sejak lama, sejak abad ke-12. Kehadiran mereka di masyarakat
Nusantara diterima dengan tangan terbuka bahkan mendapat tempat yang khusus di
hati masyarakat.
Pada awal abad ke-18 terjadi gelombang kedua
kedatangan orang Hadhramaut ke Indonesia, yang kebanyakan terdiri dari marga
Assegaf, Al-Habsyi, Al-Hadad, Alaydrus, Al-Jufri, Alatas, Bin Syihab, Jamalulail,
Al-Qadri, Basyaiban, Bin Yahya.
Kalau gelombang pertama dan kedua yang datang
adalah mayoritas golongan habaib atau sayyid, yang misi utamanya dakwah,
menyebarluaskan ajaran Islam, kedatangan gelombang ketiga mayoritas
non-habaib, yang disebut ghabili, yang di samping agama juga
bertujuan sosial-ekonomi. Hadharim non-habaib mulai banyak menetap di Pulau
Jawa, terutama sejak tahun 1820.
Para perantau yang berangkat dari tanah
airnya dengan kapal layar biasanya berangkat dari pelabuhan Mukalla. Setelah
singgah di pelabuhan Oman, Bombai, Sri Lanka, untuk mengisi air, menambah
perbekalan, memuat penumpang dan barang, mereka singgah di Aceh. Dari sini
biasanya para perantau ini menuju Palembang dan Pontianak, karena di kedua
kota itu banyak kerabat dan kenalan yang sudah hidup mapan.
Bagi yang menggunakan kapal uap, yaitu sejak
dibukanya Terusan Suez dan mulai beroperasinya kapal uap yang melayani trayek
Eropa dan Timur Jauh, sejak tahun 1867 mereka berangkat dari Aden dan transit
di Singapura. Dari kota jajahan Inggris ini mereka menuju Batavia untuk
selanjutnya menyebar ke berbagai kota.
Sebelum diberlakukannya wijken
stelsel (peraturan permukiman) oleh penjajah Belanda di awal abad
ke-18, kaum muhajirin ini ditempatkan di permukiman yang sudah ditentukan
Belanda. Di Batavia mereka ditempatkan di daerah pantai yang berawa-rawa dengan
lingkungan yang tidak sehat, seperti di daerah Pasar Ikan dan Pekojan, bersama-sama
dengan etnis Benggali atau Khoja, yang sudah lebih dahulu tinggal di sana.
Setelah peraturan permukiman dicabut pada
akhir abad ke-19, mereka mulai mencari permukiman baru yang lebih sehat,
seperti di daerah Krukut, Tanah Abang, Jatinegara, dan Kwitang. Mereka hidup
mengelompok membentuk koloni yang sangat sejalan dengan tujuan penjajah
Belanda, yaitu memisahkan mereka dengan penduduk pribumi.
Permukiman mereka yang mengelompok itu
ditopang oleh peraturan kependudukan kolonial Belanda yang membagi penduduk
Hindia Belanda menjadi tiga golongan, yaitu Eropa golongan pertama, Timur
Asing, Arab, dan Cina golongan kedua, dan pribumi atau inlanders golongan
ketiga.
Berdasarkan politik kependudukan tersebut,
koloni yang sudah mencapai jumlah penduduk tertentu diangkat seorang pemimpin
atau kepala Arab yang diberi pangkat kehormatan yang tinggi rendahnya
tergantung populasi yang dipimpinnya. Mayor untuk populasi besar, kapiten
untuk yang sedang, letnan untuk yang populasi sedikit.
Mereka tidak diberi gaji, fungsinya sebagai
penghubung antara penduduk dan penjajah Belanda, terutama dalam pengendalian
dan pengawasan orang-orang Arab sebagai etnis yang tidak disukai oleh penjajah
Belanda karena berbeda agama. Selain itu mereka juga diberi tugas untuk
melaporkan data penduduk secara periodik, melaporkan mutasinya,
menyebarluaskan peraturan-peraturan baru, membantu petugas pajak.
Koloni yang sudah terbentuk menjelang abad
ke-19 yaitu Batavia. Sekalipun Batavia baru tahun 1844 dihuni oleh orang
Hadhramaut, karena pada waktu itu berubah menjadi kota transit di Indonesia,
pupulasinya berkembang dengan cepat. Di daerah permukimannya yang baru di
Krukut, Tanah Abang, Jatinegara, Kwitang, orang Hadhramaut membangun rumah
bergaya Eropa, yang satu atau dua rumah di antaranya memiliki balkon tertutup.
Sebagai etnis yang sangat memuliakan tamu,
orang Hadhramaut di dalam rumahnya selalu menyediakan satu ruang lengkap dengan
kamar mandi untuk para tamunya yang baru datang dari Hadhramaut, agar mereka
dapat tinggal dengan nyaman dan leluasa beberapa hari sebelum melanjutkan
perjalanan ke tujuan masing-masing.
Di lingkungan permukiman orang Arab Yaman
terdapat sebuah langgar dipimpin seorang Hadharim sekaligus juga menjadi
pengajar ilmu agama yang diberikan di salah satu ruangan yang ada. Shalat
Jum’at, mereka bergabung dengan muslim lainnya di masjid besar.
Sekalipun populasinya terus berkembang, di
daerah permukiman mereka tidak banyak dijumpai toko, karena mereka lebih
menyukai bisnis di dalam rumah sebagai pedagang perantara (distributor)
Hadharim di Batavia yang sudah kaya tinggal
di rumah-rumah besar gaya Eropa. Kalaupun rumah mereka kecil, mereka
membangunnya dengan gaya vila, seperti di Eropa.
Tahun 1880-an, Belanda mulai mengadakan
pembatasan terhadap pendatang Hadharim dengan hanya mengizinkan 100 orang
pendatang baru dalam setahun, dengan demikian perkembangan populasi Hadharim
lebih banyak berasal dari perkawinannya dengan wanita pribumi. Orang
Hadhramaut di Batavia pada waktu itu kurang memperhatikan pendidikan umum
anak-anaknya, meraka lebih memperhatikan ilmu agama dan bahasa Arab, yang
mereka gunakan sehari-hari.
Di Bandung, sebelum tahun 1930, hanya
terdapat empat keluarga Hadharim. Yaitu keluarga Al-Katsiri, yang tinggal di
Sulanjana, Hasan Wiratmanah, pemilik gedung Swarha di daerah Tegal Lega,
Bahafdullah, di Jalan Cihampelas, dan keluarga Basalamah, di Sasakgantung.
Karena jumlahnya yang sedikit, di Bandung
tidak ada kampung Arab. Langkanya Hadharim di Bandung karena penjajah Belanda
sangat ketat menjaga kota Bandung, yang dijadikan Paris van Java.
Bersamabung ke Bagian IV
Sumber: majalah-alkisah.com
Posting Komentar
Posting Komentar