Di Cirebon, pada
tahun 1845, Hadharim telah mencapai jumlah yang memerlukan seorang pemimpin
koloni. Kampung Arab di Panjunan, Kolektoran, dan Pekarungan semula dihuni
oleh keturunan Benggali, yang karena sudah terdesak sudah tidak banyak
terlihat. Di sini berdiri sebuah masjid besar yang disebut Masjid Arab, nama
lainnya Masjid Bayasut.
Di Indramayu,
koloni Hadharim pada awalnya bergabung dengan koloni Cirebon. Namun karena
jumlah penduduknya terus meningkat, pada tahun 1872 dipisah, lalu ditunjuk
pemimpin Arab sendiri.
Di Purwakarta,
mulai tercatat koloni Arab ketika Syaikh Hasan bin Ali Bajerei diangkat sebagai
letnan Arab pada 1 Desember 1927.
Di Tegal, koloni
Arab baru terbentuk sekitar tahun 1860, setelah banyak Hadharim dari kota lain
pindah ke sana. Kepala koloni mulai ditunjuk pada tahun 1883. Sebagian besar
penduduk koloni ini berasal dari nasab Nahdi, Al-Katsiri, dan Yafi’.
Pada waktu itu
Hadharim menempati rumah yang dihuni secara bersama oleh dua atau tiga
keluarga, sementara yang lainnya menghuni rumah-rumah sederhana. Mereka
orang-orang yang taat beragama dan tidak begitu tertarik belajar ilmu umum.
Di Pekalongan,
mereka datang pertama kali pada awal abad ke-18. Sebagian besar golongan
Ba’alwi, yang kemudian menjadi inti koloni Hadharim di Pekalongan. Banyak di
antara mereka yang kemudian menikah dengan putri pembesar Pekalongan. Di
antara mereka adalah Raden Saleh, pelukis Indonesia bertaraf internasional
yang memiliki nama asli Sayyid Saleh bin Husain Bin Yahya. Kakeknya, Sayyid
Awadh Bin Yahya, adalah orang Hadhramaut yang menikah dengan putri Kiai Bustam,
seorang wedana Lasem.
Anggota keluarga
Bin Yahya yang lain, bernama Sayyid Thaher Bin Yahya, tiba di Penang pada
permulaan abad ke-19. Ia menikah dengan seorang putri keluarga sultan
Yogyakarta yang dibuang ke Penang tahun 1812-1816. Ketika kembali ke Jawa
mereka menetap di Semarang.
Nama sebenarnya
adalah Thaha, yang kemudian digelari “As-Sayyid Ath-Thahir”. Belakangan
sejumlah catatan menuliskan namanya “Sayyid Thahir”.
Putranya yang
ketiga, Ahmad bergelar Raden Sumodirjo, yang kemudian tinggal di Pekalongan,
menikah dengan seorang syarifah dari keluarga Ba’abud.
Di Semarang, pada
tahun 1819 penduduk Hadharim di kota ini sudah mempunyai pemimpin Arab.
Mereka hidup sukses sebagai pedagang dan membaur dengan pribumi, termasuk
dengan etnis Tionghoa.
Di Yogyakarta,
koloni Arab dan Timur Asing non-Tionghoa dipimpin oleh orang Hadharim. Ini
menunjukkan bahwa mereka pernah hidup membaur dan berdampingan. Tercatat
seorang bernama Sayyid Ali bin Abdullah Al-Jufri yang pernah menjadi pemimpin
golongan campuran ini pada 6 November 1889 M. Kondisi yang mirip di Yogyakarta
ini ada juga di Solo, para Hadharim membaur dengan berbagai etnis.
Di Gresik, koloni
ini mencapai puncak kejayaannya sekitar tahun 1845, ketika perusahaan
pelayaran yang banyak mereka miliki maju pesat, karenanya sejak tahun 1832
sudah ditunjuk seorang pemimpin Arab.
Di Surabaya, pada
tahun 1870 populasi Hadharim berkembang pesat, mereka berasal dari berbagai
nasab dan berbagai tempat di Hadhramaut, termasuk juga golongan Ba’alwi.
Mereka bermukim di sebelah timur laut kota. Di sini banyak toko dan rumah
Hadharim yang besar dan kokoh menghadap jalan. Di daerah ini terdapat tujuh
buah masjid, yang satu di antaranya Masjid Ampel. Masjid ini, sekalipun
jama’ahnya kebanyakan Hadharim, dirawat oleh seorang pribumi.
Selain dihuni
Hadharim, daerah ini juga ditempati golongan pribumi, suku Khoja, dan sedikit
Tionghoa. Tahun 1932 ditunjuk seorang Hadharim untuk memimpin koloni Surabaya
dan Bangkalan.
Sekarang sebagian
besar mereka bermukim di Kelurahan Ampel, Nyamplungan, Jln. K.H. Mas Mansur,
Jln. Panggung, Jln. Sasak, Kampung Margi, dan Ketapang.
Di Palembang, pada
waktu pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II (1767-1862) orang Hadhramaut
diberi peluang seluas-luasnya untuk bermukim dan berusaha di wilayahnya. Akibat
kebijakan ini, Sultan Mahmud ditangkap penjajah Belanda dan diasingkan ke Ternate
pada tahun 1821.
Pada waktu itu
jumlah Hadharim sudah mencapai ribuan orang dan sejak itu ditunjuk seorang
kepala koloni. Berpuluh-puluh tahun kemudian jumlah Hadharim semakin banyak,
bisnisnya pun semakin berkembang.
Kemajuan bisnis
Hadharim di Palembang sejalan dengan pesatnya perkembangan pelayaran di
Nusantara.
Selain sukses di
bidang bisnis, orang Hadhramaut, yang umumnya golongan Alawiyyin, juga sukses
di bidang politik.
Keluarga Ba’alwi
yang menjadi orang terkemuka di Palembang antara lain Bin Syaikh Abu Bakar,
Al-Habsyi, Bin Syihab, As-Seggaf, Baraqbah, Al-Kaff, Al-Munawwar, Al-Jufri.
Di Palembang banyak
juga keluarga Alawi yang berasimilasi dengan bangsawan.
Di Aceh, awalnya
ini merupakan permukiman terbesar di Nusantara. Di Bumi Serambi Makkah ini
mereka tidak pernah membentuk koloni, karena lebih memilih hidup membaur dengan
pribumi.
Mereka sudah
memiliki darah campuran, sehingga sulit dibedakan dengan pribumi. Hanya bisa
dibedakan dari cara berpakaian ketika hadir dalam suatu upacara, atau nama
marga yang masih melekat.
Di Padang, walaupun
keberadaan Hadharim tidak terlalu terlihat, dalam catatan sejarah pada tahun
1875 terdapat seorang kepala koloni. Adanya kepala koloni ini mengindikasikan
bahwa jumlah Hadharim di Padang pernah mencapai jumlah yang besar.
Di Padang Pariaman,
banyak pula terdapat keturunan Hadharim. Masyarakat Pariaman memberi gelar
“Sidi” untuk mereka, yang berasal dari kata “Sayidi”. Di antara kepala koloni
yang pernah memimpin di Padang adalah Sayyid Abdurrahman Al-Hamid dengan
pangkat letnan, pada 29 Mei 1900.
Sedang Pontianak
adalah kota tujuan para perantau Hadharim, di samping Palembang, karena di
kedua kota ini banyak Hadharim yang sukses. Yang di Palembang sukses di
bidang bisnis, dan yang di Pontianak sukses di bidang politik. Terbukti
dengan adanya Kesultanan Pontianak, yang didirikan oleh Syarif Abdurrahman
Al-Qadri, pada 23 Oktober 1771, di sebuah delta antara Sungai Kapuas Kecil dan
Sungai Landak.
Kesultanan
Pontianak maju sampai pemerintahan Sultan Muhammad II, yang sangat mendukung
kehadiran Hadharim di sana dan memberikan peluang sebesar-besarnya bagi
mereka untuk menjalankan bisnisnya ke pedalaman. Kesultanan ini mulai
terpuruk ketika tentara Jepang datang merampas harta kekayaan dan sekaligus
membunuh sultan pada tahun 1943.
Hadharim yang
pernah bermukim di sini kebanyakan dari golongan Alawiyyin, terutama nasab
Al-Qadri. Nasab lainnya adalah Alaydrus, Al-Muthahar, Al-Hinduan, Assegaf,
Ba’Agil, Bin Syahab. Lalu At-Tamimi, Bin Syaiban, Al-Falugha, Bansyir,
Syawik, dan Bajandokh.
Di daerah Kubu di
selatan Pontianak terdapat Kesultanan Kubu, yang didirikan oleh nasab
Alaydrus. Koloni Hadharim di Pontianak pernah dikepalai oleh Syaikh Muzahamam
bin Salim Bawazir.
Demikianlah, Islam
telah mempersatukan pribumi dan Hadharim. Allah SWT berfirman dalam
surah Al-Hujarat ayat 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Sumber: majalah-alkisah.com
Posting Komentar
Posting Komentar