Networks at
work, keeping people calm
You know they murdered X
And tried to blame it on Islam
He turned the power to the have-nots
And then came the shot.”
Kalimat di atas merupakan penggalan bait lagu berjudul Wake Up milik
Rage Against The Machine (RATM). Lagu-lagu yang dibawakan grup musik asal Los
Angeles (Amerika Serikat) ini mengusung ramuan musik punk, hip-hop, dan trash .
Penggemar ketiga aliran musik ini, terutama punkdan trash ,
mayoritas berasal dari komunitas underground komunitas yang selalu
diidentikkan mempunyai budaya yang negatif serta sedikit menyimpang dari
norma-norma yang telah tertanam di masyarakat.
Terlepas dari semua stigma negatif ini, justru bagi seorang Richard Stephen
Gosal, dari komunitasunderground inilah dia mulai tertarik untuk mengenal
agama Islam lebih jauh. ”Saya suka sekali dengan (lagu-lagu) Rage Against The
Machine. Bahkan, sampai sekarang saya menaruh respek meskipun mereka bukan
orang Islam,” ungkap mualaf yang kini menggunakan nama Muhammad Thufail
al-Ghifari.
Dari salah satu lagu yang dibawakan RATM, pria yang sejak remaja memang
menyukai aliran musikunderground ini mengenal Malcolm X–tokoh mualaf kulit
hitam Amerika Serikat yang memperjuangkan hak asasi kaum kulit hitam di negeri
Paman Sam tersebut. Tidak hanya dalam lagu band RATM, nama Malcolm X juga
Thufail temukan dalam lagu grup hip-hop asal New York (AS) yang ia
sukai, Public Enemy.
Rasa penasaran terhadap tokoh pejuang hak asasi manusia asal Amerika ini
mendorong Thufail untuk mencari berbagai informasi mengenai kehidupan sang
tokoh. ”Saya belajar banyak tentang dia. Dari Malcolm X ini kemudian saya
mengenal Muhammad Ali dan Nabi Muhammad SAW,” ujarnya.
Pada saat ia masih memeluk agama Kristen Protestan, kedua orang tuanya yang
berprofesi sebagai pendeta kerap mendoktrinnya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
gambaran orang yang suka berperang, main perempuan, memiliki jenggot, berasal
dari suku kedar (anti- christ ), menyesatkan umat manusia dengan
Alquran, dan pengikutnya akan binasa di neraka.
Dari salah satu literatur mengenai Malcolm X yang dibacanya, menurut Thufail,
ada satu kalimat yang diucapkan sang tokoh kepada Muhammad Ali petinju
legendaris AS yang membuatnya terkesan. Ketika Muhammad Ali mengecam kaum kulit
putih yang menindas yahudi dan orang kulit hitam, Malcolm justru berkata, ”Di
Makkah, saya lihat orang bermata coklat, biru, hitam serta berkulit putih,
hitam, dan coklat semuanya duduk bersama.”
Kalimat yang mengungkapkan kekaguman Malcolm terhadap umat Islam tersebut,
membuat ia semakin tertarik dengan Islam. Meski dididik dengan ajaran Kristen
Protestan yang cukup ketat, agama Islam bukanlah sesuatu yang baru bagi
Thufail. ”Sejak di SMP, saya banyak bergaul dengan teman-teman yang beragama
Islam. Bahkan, di antara mereka banyak yang sering menggoda saya dan mengatakan
kapan saya masuk Islam,” paparnya.
Dari belajar mengenai Malcolm, hingga suatu ketika Thufail merasa jenuh dengan
kehidupan yang dijalaninya sebagai seorang penganut paham ateis. Kejenuhan yang
sama pernah ia alami ketika masih memeluk Kristen Protestan. Saat itu, ia masih
duduk di bangku kelas 3 SMP. Ketika di bangku SMP itulah ia mulai tertarik
dengan buku-buku mengenai sosialisme dan komunisme.
Ajaran sosialisme dan komunisme ini di kemudian hari banyak memengaruhi pola
pikir Thufail. Hingga akhirnya, saat duduk di bangku kelas 2 SMA (sekitar tahun
1999-2000–Red), ia memutuskan menjadi seorang ateis. ”Saya tidak mengimani lagi
Yesus Kristus dan menganggap agama hanya membuat orang saling membunuh dan
berperang.”
Tiga kali syahadat
Kejenuhan terhadap paham ateisme yang dianut Thufail, bermula dari fenomena sweeping terhadap
kelompok beraliran kiri di Tanah Air yang terjadi pada kurun waktu tahun
2000-2001 oleh kelompok Pancasilais. Ketika terjadi sweeping itulah,
ungkapnya, banyak tokoh PRD (Partai Rakyat Demokratik)–tempat Thufail pernah
bergabung menjadi salah seorang anggotanya tidak bertanggung jawab terhadap
penahanan simpatisan-simpatisan mereka yang berada di kelompok underground di
daerah-daerah.
”Para tokoh PRD ini menghilang, ada yang karena diculik dan ada yang
bersembunyi. Di sini awal mula saya kecewa dengan yang dinamakan revolusi
diri,” tukas vokalis band rock indie The Roots of Madinah ini. Rasa jenuhnya
ini kemudian ia lampiaskan kepada seorang sahabatnya, sesama anak band di
komunitas underground . Walaupun memiliki pergaulan di komunitas underground ,
menurut Thufail, sahabatnya ini tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai
seorang Muslim untuk menunaikan ibadah shalat kendati saat itu ia sedang
manggung.
Kepada sahabatnya ini, Thufail mengutarakan niatnya untuk masuk Islam. Bukan
dukungan yang ia peroleh, justru larangan dari sang sahabat. Pelarangan
tersebut, ungkapnya, karena sahabatnya itu tidak menginginkan keputusan dirinya
untuk masuk Islam lebih karena faktor emosional sesaat. Sahabatnya ini
menginginkan jangan sampai begitu ia masuk Islam terus di kemudian hari
memutuskan untuk murtad. ”Menurutnya, saya tidak hanya akan kehilangan dia
sebagai teman, tapi teman-teman yang lain bakal nggaksuka sama saya,”
ujarnya mengenang perkataan sahabatnya kala itu.
Thufail tidak lantas menyerah. Kemudian, ia menemui teman-teman lainnya dari
kalangan komunitasunderground yang beragama Islam. Dengan bertempat di
pinggir jalan yang berada di Kompleks Perumahan Taman Kartini, Bekasi, Thufail
mengucapkan syahadat di hadapan teman-temannya ini. ”Peristiwa itu terjadi
tahun 2002 dan yang menjadi saksi saya ketika itu teman-teman yang memakai baju
Sepultura, Kurt Cobain, dan Metallica.”
Keputusannya untuk masuk Islam membuat kedua orang tuanya marah dan mengusirnya
dari rumah. Keputusannya ini, ungkap Thufail, juga berdampak terhadap
penghidupan orang tuanya. Gereja yang selama ini menjadi tempat mata
pencaharian ibunya terancam ditutup begitu mengetahui ia masuk Islam.
”Sampai-sampai mama itu menyembunyikan keislaman saya dari para jemaat.”
Tinggal di jalanan, setelah diusir dari rumah, ia jalani selama tiga bulan.
Beruntung Thufail bertemu dengan seorang teman lama yang menawarinya untuk
menjaga rumahnya yang sedang direnovasi. Selama menjaga rumah temannya ini,
tidak hanya memperoleh tempat tinggal, ia juga mendapatkan jatah makan setiap
hari.
Masalah muncul ketika renovasi rumah selesai. Thufail saat itu tidak tahu akan
tinggal dimana. Namun, oleh ayah temannya ini dia ditawari pekerjaan di sebuah
sekolah tinggi, tempat ayah temannya ini menjabat sebagai rektor. Dengan hanya
berbekal selembar CV ( curriculum vitae ), ia lalu melamar dan
diterima sebagai petugas cleaning service dengan gaji sebesar Rp 600
ribu per bulan.
Ketika bekerja sebagai petugas cleaning service , ia berkenalan
dengan Ustadz Nur Hasan yang merupakan imam Masjid Baiturahim Perumahan Taman
Kartini, Bekasi. Oleh sang ustadz, ia ditanya bersyahadat di mana. ”Ketika saya
jawab di pinggir jalan, beliau bilang syahadat saya tidak sah. Akhirnya, saya
baca syahadat lagi di Masjid Baiturahim,” ujarnya.
Sejak bersyahadat untuk kedua kalinya ini, menurut Thufail, mulai timbul
keinginan untuk belajar membaca Alquran dan pengetahuan mengenai ajaran Islam
lainnya. Kemudian, ia ketemu dengan seorang ustadz yang pada saat itu juga
merupakan pengurus sebuah partai politik berideologi Islam. Pelajaran pertama
yang didapatkannya adalah mengenai dua kalimat syahadat. ”Ketika itu semua
anggota halakah disuruh syahadat lagi sama beliau. Jadi, syahadat saya tiga
kali.”
Kendati sudah membaca syahadat hingga tiga kali, Thufail tidak langsung
mempercayai adanya Allah SWT sebagai sang Maha Pencipta. Dia mulai meyakini
keberadaan Allah SWT, justru ketika dirinya diizinkan untuk bertemu dengan
sesosok makhluk gaib untuk pertama kalinya. ”Setelah bertemu dengan sosok gaib
ini, saya mulai berpikir secara logika bahwa segala sesuatu di bumi ini pasti
punya dua sudut pandang, ada benar dan salah, ada hitam dan putih. Begitu juga,
ada benda dan yang menciptakan benda tersebut,” paparnya.
Setelah memeluk Islam, ia mendapatkan ketenangan batin yang tidak pernah
diperoleh sebelumnya. Di samping itu, ia merasa lebih optimistis dalam
menjalani kehidupan dan lebih bisa mensyukuri hidupnya. ”Ketika saya menaruh
hukum Allah SWT di atas segala apa pun, saya tidak takut mati, tidak takut miskin,
tidak takut lapar.”
Keinginannya saat ini, menurut Thufail, adalah bagaimana ajaran Islam tidak
hanya bisa dinikmatin di Masjid, tetapi juga di lingkungan komunitas underground .
Diakuinya, hingga kini memang masih belum ada ustadz yang peduli dengan komunitas underground ini.
”Ada banyak teman saya yang tatoan , mabuk, tapi kalau bicara Islam
diinjak-injak dia sudah nggak mau dialog. Dia pasti akan ambil parang
dan ditebas orang itu,” ungkapnya.
Karena itulah, melalui musik yang disuguhkannya bersama band rock yang
dibentuknya, The Roots of Madinah, dia mau merangkul para temannya yang Muslim
yang ada di komunitas underground untuk berhijrah. Aliran musik rock yang
dikemas dalam lagu-lagu bersyair religi Islami, ia harapkan juga bisa menjadi
senjata untuk menghantam balik musik-musik Yahudi.
”Saya bikin musik ini supaya ngebalikin orang Yahudi lagi. Mereka kan
ngancurin saya waktu dulu, membuat saya keluar dari Kristen dan menjadi
ateis dengan musik,” katanya menandaskan.
sumber :republika.co.id
Posting Komentar
Posting Komentar