SARAJEVO – Maha
El-Metwally adalah Project Officer for Islamic Relief Bosnia. Ia telah tinggal
di Bosnia Herzegovina selama 5 tahun. Metwally berasal dari Mesir. Ada
pengalaman menarik selama ia tinggal di Bosnia dan merasakan tradisi
Ramadhan dan Idul Fitri.
Saat memasuki bulan
Ramadhan, Metwally mencoba mencari tahu tradisi Ramadhan di Bosnia. Ia
mewawancarai pasangan Zejnil Kustura dan istrinya, Nefa—keduanya 65 tahun.
Keluarga Zejnil dulunya tinggal di pedesaan dan hanya beberapa bulan ini pindah
ke kota.
Zejnil dibesarkan di salah satu dari 13 desa yang terletak di balik Gunung
Bjelasnica yang indah. Hingga 1952, semua orang di daerah ini masih shalat,
berpuasa dan pergi ke madrasah dan sekolah Alquran. Warga melaksanakan shalat
Jumat di masjid desa, sementara shalat harian dilakukan di mushalan. Ada tiga
masjid yang terdapat di daerah tersebut.
Ketika Ramadhan datang, orang-orang akan shalat dan makan bersama. Rasa
kebersamaan memang sangat kental mewarnai desa tersebut. Orang-orang
berlomba-lomba mengundang berbuka puasa di rumah mereka. Makanan yang mereka
hidangkan berasal dari hasil panen, bukan dari supermarket.
Hidangan utama saat berbuka puasa tentu saja Pita (adonan
tipis yang berisi daging, bayam, kentang, atau keju). Setelah penduduk desa
mulai beternak, mereka memiliki simpanan produk susu dalam rangka mempersiapkan Topa (hidangan
yang terbuat dari mentega, krim dan keju) yang dianggap nyonya rumah sebagai makanan
yang paling sehat untuk Ramadhan. Sup, kue dan makanan penutup ala Turki sangat
populer selama Ramadan. Tetapi Idul Fitri takkan lengkap tanpa Baklava (kue
manis renyah dari kacang).
Setelah Bairam atau shalat Idul Fitri, penduduk desa akan mengundang
orang-orang dari desa-desa lain yang ikut shalat Idul Fitri untuk sarapan di
rumah mereka. Terkadang seorang warga akan pulang ke rumah dengan membawa 15-20
tamu untuk sarapan bersama. Warga kemudian akan dipecah menjadi kelompok tua
dan muda, dan pergi keluar untuk mengunjungi tetangga.
Setelah saling
berkunjung, tibalah waktunya menggelar permainan Bairam yang menjadi ciri khas
Bosnia. Biasanya para gadis yang memulai permainan ini, yang kemudian diikuti
semua orang. Dalam perayaan Bairam, digelar juga perlombaan atletik, dan mereka
yang menang akan mendapatkan hadiah—biasanya pakaian yang dijahit khusus oleh
perempuan desa. Oya, saat Bairam ini juga merupakan saat untuk melaksanakan
khitan bagi bocah-bocah lelaki.
Sayangnya, saat komunis menguasai Bosnia, tradisi itu perlahan-lahan
menghilang. Nilai-nilai keagamaan juga hilang. Tak ada lagi perayaan menyambut
Ramadhan maupun Idul Fitri. Hal ini terus dirasakan saat komunis hengkang dari
tanah Bosnia.
Hal ini dirasakan
Zejnil yang terpaksa pindah ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih
baik."Orang-orang tidak ingin berbagi kehidupan. Bahkan di masjid,
orang-orang memang shalat, tetapi sudah enggan berbincang-bincang usai doa.
Ramadhan sekarang lebih bersifat individualistik," kata Zejnil.
Zejnil mencoba
menyampaikan beberapa tradisi lama pada anak-anaknya. Anak-anaknya menghadiri
berbagai kegiatan menjelang Ramadhan maupun saat memasuki Idul Fitri. Zejnil
dan istrinya ingin menurunkan tradisi-tradisi lama ke generasi berikutnya.
Semoga di Indonesia
tradisi Ramadhan juga tidak punah seiiring masuknya pemikiran modern dan banyaknya
cendikiawan keblinger yang dipengaruhi pemikiran Islam garis keras. (red).
Sumber: republika.co.id
Posting Komentar
Posting Komentar