Menu

TQN PP.Suryalaya

 

Pernahkah kita merenungi bahwa dalam hati kita mungkin terdapat berhala yang dapat merusak amal ibadah kita? Memang banyak diantara kita yang tidak menyadari kalau didalam dirinya sudah terdapat berhala yang tumbuh dan menghancurkan bagunan amal yang telah dibuat dengan susah payah. Taukah engkau sifat dan sikap apakah yang dapat membangun berhala pada hati kita? Yaitu sifat ujub dan sombong. 

Sifat ujub dan sombong bisa menghinggapi siapa saja, baik orang kaya, pelajar, orang pintar dan juga pada setiap nikmat Allah yang diberikan pada hambaNya terkadang juga bisa menimbulkan sifat ujub dan sombong. 


Ujub adalah sikap yang menganggap diri hebat karena kelebihan yang ada pada diri. Bahkan ia membayangkan bahwa akibat dari kebaikan perbuatannya maka ia telah mencapai hak-hak tertentu atas Allah. Sifat ujub ini merupakan bagian dari kesombongan yang belum dinampakkan (masih dalam hatinya). Sedangkan sombong (takabur) adalah sikap yang membanggakan diri , menganggap diri lebih dari orang lain yang dinampakkan lewat ucapan, sikap dan tingkah laku.
Tanda-tanda kesombongan terkadang dapat dilihat dari caranya berbicara, berjalan, terkadang ia mengharapkan sekelompok orang meniru dirinya , menganggap dirinya lebih baik / tinggi dari orang lain, sehingga dalam berintegrasi dengan orang lain disertai dengan penghinaan dan celaan, menolak kebenaran ketika orang lain memberitahukan kesalahannya, memaksa kehendaknya, pantang diremehkan, sukar menerima nasehat dan suka sanjungan dari orang lain. 
Hal-hal yang dapat menyebabkan orang sombong yaitu:

1. Kekuasaan. 
Jabatan yang kita miliki, bisa mengantarkan kita untuk berbuat sombong, melecehkan orang-orang biasa yang tidak punya jabatan apa-apa. Janganlah kita berlaku sombong karna kekuasaan, sebab kekuasaan tidak akan kekal, ketika kita mati maka kekuasaan pun akan hilang.

2. Harta Kekayaan.
Kekayaan yang kita miliki juga rizki dari Allah. Harta kekayaan ini akan menjadi bencana, jika kita membeda-bedakan derajat seseorang berdasarkan harta kekayaan yang dimilikinya. Tidak mau menjadikannya teman kerena dia miskin, tidak mau menerima pinangan karena derajatnya lebih rendah daripada kita dll. 
Jika Allah memberi kita rizki berupa harta yang melimpah, janganlah kita berlaku sombong, karna dunia seisinya adalah kenikmatan yang tak abadi. Ingatlah, ketika kita mati, kita tidak membawa apa-apa kecuali kain yang membungkus tubuh, tak ada sedikitpun berguna harta, hanyalah ketaqwaan yang akan menyelamatkan kita.

3. Nasab keturunan
Bagi orang yang sombong karena keturunan menganggap keturunannya lebih baik daripada yang lain, sehingga dia tidak mau berteman dan bergaul dengannya, serta mencela dan mencaci bila terjadi percecokan diantara mereka. Dengan mengatakan aku lebih tinggi daripada kamu, kedudukan orang tuaku lebih tinggi daripada orang tuamu dll. Bagi kita yang berasal dari keturunan yang mulia (orang tuanya ulama, pejabat, orang kaya, “darah biru”, orang terhormat, dan sejenisnya) berhati-hatilah, karena kita bisa terjebak menjadi sombong dengan sebab nasab keturunan. 
Jika kita terlahir didalam keluarga yang bernasab mulia, janganlah kamu membanggakannya disekelilingmu, sebab nasab yang hakiki adalah taqwa. Kelak pada hari kiamat semua nasab itu terputus tiada guna, hanya amal salehlah yang berguna.


“ Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. (Al-Mukminun : 101) 


4. Penampilan, kecantikan maupun ketampanan.
Bentuk fisik kita merupakan anugerah Allah yang patut disyukuri, bagaimanapun adanya. Jika Allah menganugrahkan kepada kita wajah dan tubuh yang bagus, janganlah kita berlaku sombong terhadap pasangan atau orang-orang disekitar kita, sebab wajah dan tubuh itu ada masanya akan sirna.

5. Amal dan Ibadah
Imam Asy-Sya’abi dan Ayyub as-Sakhtiani rahimahumullah mengisahkan “ada seorang laki-laki yang terkenal dengan julukan ‘si tukang maksiat dari kalangan Bani Israel’. Suatu hari dia berjumpa dengan seorang laki-laki ‘si tukang ibadah’ yang diatas kepalanya terdapat awan yang menaunginya. Si tukang maksiat berkata pada dirinya, aku adalah orang yang banyak bermaksiat sedangkan dia adalah seorang ahli ibadah. Alangkah baiknya kalau aku duduk disampingnya. Barangkali saja aku akan mendapat imbas dari rahmat Allah yang dianugrahkan kepadanya. Lalu ia duduk disampingnya. Si tukang ibadah tersebut bicara kepada dirinya sendiri, aku adalah ahli ibadah sedangkan dia ahli maksiat. Aku tidak mau dia duduk didekatku!. Dengan sombong dia berkata kepada si ahli maksiat “ Pergilah kamu dari sini!. Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada nabi zaman itu yang isinya “suruhlah keduanya memulai beramal. Sesungguhnya Aku telah memaafkan tukang maksiat itu dan menghapus amal ibadah tukang ibadah tersebut. Dalam sebuah riwayat disebutkan, maka awan itu pun berpindah menaungi si tukang maksiat.
Janganlah kita menganggap diri kita sebagai orang yang paling dekat dengan Allah. Memandang diri kita sebagai orang yang lebih pantas untuk masuk surga dibandingkan dengan orang lain. Menganggap diri kita lebih sempurna amalnya dibandingkan yang lainnya. Sehingga, menganggap seharusnya kitalah orang yang pantas untuk dihormati, diminta nasihatnya, dipenuhi segala kebutuhannnya, atau didahulukan kepentingannya dibanding yang lainnya. Sehingga kita tidak mau untuk mendengarkan nasihat dari orang lain, walaupun berisi kebenaran, kita pun akhirnya menganggap orang lain, derajatnya berada dibawah.

6. Banyaknya pengikut, pendukung, murid, pembantu, keluarga, kerabat dan anak,
bisa juga mendatangkan penyakit sombong. Sehingga tidak mau menerima kebenaran yang disampaikan dan melecehkannya, jika kebenaran tersebut datang dari orang yang sedikit pengikutnya. Dan janganlah kita merasa bangga dan sombong menjadi pengikut atau murid seseorang, misalnya menjadi murid dari syeh, kiyai, ulama atau habib tertentu. Sebab Allah takkan menanyakan hal tersebut di yaumul hisab nanti.

7. Ilmu Pengetahuan
Kita bisa menjadi sombong, justru karena ilmu yang dimiliki. Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, kita menjadi merasa sebagai orang yang pintar, sedangkan yang lainnya adalah orang-orang bodoh. Menganggap memiliki ilmu yang luas dan dalam, sehingga semua orang seharusnya menghormati kita, semua orang seharusnya menjadikan kita sebagai rujukan. Merasa dirinya menjadi yang paling benar, sedangkan yang lainnya salah. Hanya kitalah yang pantas untuk mengisi kajian-kajian, menjadi pembicara, sebagai narasumber. Orang lain hanya berhak untuk mendengarkan dan mengikutinya. Parahnya lagi, kita menjadi tidak mau untuk mendengarkan nasihat dari orang lain, walaupun nasihat itu benar adanya. Kita hanya mau menerima nasihat yang diberikan oleh orang yang dianggap memiliki ilmu pengetahuan yang lebih tinggi lagi. Kita merasa, bahwa hanya kitalah yang paling pantas untuk menyampaikan nasihat, sedangkan orang lain hanya pantas untuk mendengarkan nasihat kita. Akibatnya, kita benar-benar terjerumus, menjadi orang yang menolak kebenaran dan melecehkan orang lain, atau dikatakan sebagai orang yang terjangkit penyakit sombong. 

Abu Hamid al-Ghazali berkata, Jika seorang hamba tidak menyibukkan dirinya pertama kali untuk membersihkan jiwa dan menyucikan hatinya dengan berbagai macam mujahadah, niscaya ia akan menjadi sosok yang busuk didalamnya. Jika ia mendapatkan ilmu, niscaya ilmu tersebut mendapatkan tempat yang busuk dalam hatinya dan tidak memberi buah yang baik. Bahkan pengaruhnya dalam kebaikan tidak tampak. Karena ilmu yang dihafal oleh manusia, akan ia ubah sesuai dengan kemauan dan kehendak hatinya, sehingga seorang yang takabur semakin takabur dan seorang tawadhu semakin tawadhu.
Mudah-mudahan, ilmu yang kita miliki tidak membawa kesombongan. Bahkan sebaliknya, semakin luas ilmu yang dimiliki, kita semakin sadar bahwa ilmu yang kita miliki masih sangat sedikit dan masih memerlukan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh orang lain. Apalagi jika dibandingkan dengan ilmu Allah, sungguh tak ada apa-apanya. 
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman” (Asy-Syu’ara: 215) 
Ketika seseorang yang memiliki kelebihan dan keberhasilan mendapati bahwa orang-orang disekelilingnya lebih rendah tingkatannya dari dirinya, maka hal ini tentu akan membuat penyakit sombong sedikit demi sedikit bersarang dihatinya. Mengapa tidak? Dia selalu mendapati bahwa pendapatnya adalah pendapat yang benar, pemikirannya adalah pemikiran yang tepat, dan menganggap semua pandangan dan pendengaran orang terarah kepada pendapatnya dalam berbagai kejadian. Jika ia ditanya tentang sesuatu dan membalas ucapannya, niscaya ia akan marah, dan jika ada yang mendebatnya, niscaya ia dengan keras akan membantahnya, jika diberikan nasehat, maka ia segan menerima nasehat tersebut dan bisa saja ia mengatakan “yang berhak menasehatiku adalah orang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada diriku”. Jika ia mengajar, ia tidak bersikap lembut dengan orang yang belajar, bahkan tidak segan membentaknya, ia sering mengingat-ingat jasanya dan memanfaatkan orang yang ia ajarkan.

Wahai sahabat, ingatlah Allah dan RasulNya telah mengingatkan kita terhadap penyakit ujub dan sombong ini. 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Hujurat: 11)


Tidak akan masuk surga seseorang yang didalam hatinya ada rasa sombong, meski hanya seberat biji sawi (HR.Muslim)


Cukup menjadi kejahatan seseorang jika dia meremehkan saudaranya seislam (HR. Muslim)


Barangsiapa senang jika orang-orang berdiri menghormatinya, hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka (HR Ahmad)

Oleh karena itu sahabat, marilah kita merenung, apakah dihati kita terdapat berhala yang dapat merusal amal ibadah kita? Kenapa Allah tidak memasukkan kita kedalam surga karna sifat dan sikap ujub dan sombong ini? Yaitu karena ujub dan sombong adalah salah satu macam syirik kecil yang berbahaya.

Dr. Muhammad Said al-Buthi berkata “Syirik tidak terbatas pada makna luarnya yang tidak mendalam, yang tercerminkan dalam menyembah berhala dan yang selain Allah, atau tecerminkan dalam tindakan seseorang dari kita yang meminta kepada selain Allah. Tetapi, ia mempunyai makna tersembunyi yang menyelusup karena ketersembunyiannya kedalam hati dan jiwa kaum muslimin tanpa diketahui dan dirasakan. Itulah sumber bahayanya. Karena setiap kita melakukan amal saleh, ibadah, atau sesuatu semacam jihad, niscaya syirik yang tersembunyi (terselubung itu) menghancurkan pahalanya dan menghilangkan nilainya, serta mengubahnya dari ketaatan yang diterima menjadi kemaksiatan dan syirik. 

Akhir kata sebelumnya kami (penulis/admin) meminta maaf kepada sahabat semua, jika selama ini dalam tulisan, perkataan kami dalam coment, atau segala tindakan kami terdapat sikap atau sifat yang mengandung unsur kesombongan, kami minta maaf  karena ilmu yang setetes dari lautan ilmu milik Allah ini.

 Ya Allah, ampunilah dosa dan khilaf kami, baik yang tampak maupun yang tersembunyi dalam hati, tunjukilah kami jalan yang benar, jalan yang Engkau ridhoi. Aamiin ya rabbal'alamiin....

Sumber: Fanpage Facebook Muhasabah Cintaku

Posting Komentar

 
Top