Diceritakan seorang pemuda Naisabur yang dikenal memiliki jiwa satria
mengadakan perjalanan menuju kota Nasa. Ditengah istirahatnya disebuah
penginapan, seorang pria bersama kawan-kawanya bertamu kepadanya untuk meminta
jamuan. Para undangan itupun datang dan mereka makan bersama-sama. Selesai
makan, seorang pelayan wanita keluar ke ruangan jamuan sambil membawa minuman.
Dia menuangkan minuman ke masing-masing gelas di tangan para undangan. Namun
begitu sampai kepada tuan rumah, dia menarik tangnnya dan mengambil wudhu. Para
undangan keheranan dan bertanya-tanya. Pemuda itu mendekat seraya berkata,
“Bukan termasuk orang yang satria jika membiarkan pelayan wanita menuangkan air
ke dalam gelas di genggaman kaum pria”.
“Saya semenjak beberapa tahun memasuki rumah ini,” Kata seorang pengunjung,’
belum pernah melihat seorang wanitapun yang menuangkan air minuman ke dalam
gelas di tangan kaum pria”.
Manshur Al-Maghribi berkata, “Seseorang bermaksud menguji Nuh Al-Ayyari
An-Naisaburi, seorang ulama sufi naisabur. Orang itu kemudian membeli seorang
budak wanita yang diberi pakaian laki-laki, dan memang budak itu dirias
sehingga tampak seperti seorang pria tampan. Wajahnya sangat elok dan sikapnya
menggemaskan. Budak itu dibawa ke rumah Nuh selama beberapa bulan. Selang
beberapa waktu, bekas tuannya datang dan bertanya, “Apakah tuanmu (Nuh) telah
mengetahui bahwa engkau adalah seorang budak wanita ?”
“Tidak, dia tidak pernah menyentuhku sama sekali. Dia hanya membayangkan bahwa
aku adalah seorang budak laki-laki”.
Dikisahkan bahwa seorang laki-laki keji dan licik diminta istana untuk
menyerahkan seorang budak guna melayani raja. Laki-laki itu menolak, maka raja
memaksanya dengan memberi hukuman seribu cambuk, dan laki-laki itu tetap pada
pendiriannya. Dia tidak mau menyerahkan budaknya meski dihukum berat. Bersamaan
dengan itu, dimalam harinya dia bermimpi sampai mengeluarkan air mani. Dia tidak
segera mandi jinabat hingga pagi hari karena udaranya sangat dingin. Seseorang
yang meilhatnya bertanya, “engkau telah mempertaruhkan jiwamu.” Lalu dijawab,
“saya sebenarnya malu kepada Alloh yang hanya mampu bersabar menerima pukulan
seribu cambukan hanya karena makhluk, sementara untuk mandi jinabat dengan air
yang dingin saja saya tidak mampu, padahal itu untuk memenuhi syariatnya.”
Sekelompok pemuda berkunjung ke rumah seorang pemuda yang dikenal memiliki jiwa
satria. Pemuda itu menerima mereka dan mengajaknya bepergian. Di tengah
perjalanan mereka menghentikan langkah. Masing-masing mempersilahkan berangkat
duluan,”Silahkan anda berangkat duluan’. Mereka diam tidak melangkah. Disusul
orang kedua dan ketiga yang juga mengatakan hal yang sama, dan mereka tetap
juga tidak bergeming dari posisinya. Hal itu berjalan cukup lama sampai
tiap-tiap pengunjung saling berpandang-pandangan.
“Tidaklah satria seseorang yang mempekerjakan orang yang melanggarnya dalam
mendahului perjalanan,” kata sebagian mereka.
“Lantas mengapa anda sendiri memperlambat langah ?” tanya seeorang kepada
pemuda yang memiliki jiwa satria tadi.
“Dia menjawab, “Di tengah jalan saya dihadang seekor semut. Tidaklah termasuk
orang yang sopan jika ia saling mendaului, sementara seekor semut dibiarkan
tertinggal di belakang ; juga bukan seorang satria / perwira seseorang
yang menyingkirkan semut dari jalan yang sedang dilaluinya. Karena itu saya
diam menanti sampai semut itu merayap menghilang”.
“alangkah baiknya engkau wahai pemuda !” para tamu itu kagum melihat kemuliaan
akhlak pemuda itu. “Seperti engkaulah orang yang patut disebut satria”.
Dikisahkan juga tentang seorang jama’ah haji yang ketiduran di kota Madinah.
Dalam setengah sadarnya, ia dikejutkan oleh bayangan yang seakan-akan berhasil
mencuri kantong uang dinarnya. Laki-laki tersebut lagsung terjaga dari
tidurnya, lalu keluar dan diluar tenda dia melihat Ja’far Ash-Shadiq. Dia
mencurigai Ja’far karena dialah orang yang pertama kali dilihatnya.
“Engkau mencuri kantongku ?” Tuduhnya.
“Apa isi kantongmu ?”
Seirbu uang dinar.”
Ja’far tidak menyangkal. Beliau langsung pulang mengambil sejumlah uang yang
dinyatakan hilang dan memberikannya kepada laki-laki tadi. Lelaki itu kemudian
membawanya pulang dan di dalam rumahnya ia melihat kantong uang dinarnya yang
disangkanya hilang. Dia menyesal karena telah gegabah menuduh seseorang
mencurinya, padahal ia tidak mengenal siapa lelaki itu. Dia kemudian mendatangi
lelaki itu dan meminta maaf kepadanya, lalu mengembalikan uang dinar yang
diterima darinya. Syaikh Ja’far ra. Sang Pangeran Sufi itu menolak seraya mengatakan,”Sesuatu yang telah saya
keluarkan dari tangan saya tidak mungkin saya minta kembali”.
Musafir ini merasa tidak enak, dia tidak tahu siapakah lelaki aneh yang
telah dituduhnya mencuri, “Siapakah beliau ?” tanyanya kepada seseorang.
“Ja’far Ash-Shadiq” jawabnya.
lelaki itu pun tersungkur malu dan berlinang air mata menyesali perbuatannya. Bahwa perbuatan yang dimulai dengan prasangka buruk akan berakibat penyesalan.
Syaqiq Al-Balkhi pernah bertanya kepada Ja’far bin Muhmmad tentang alfutuwah ((jiwa
satria)
“Menurutmu sendiri apa “
“Jika kami diberi, kami berterimakasih, jika tidak diberi kami bersabar”.
“Anjing-anjing di kota kami juga berbuat seperti itu,”Timpal Ja’far.
Wahai cucu RasuluLloh, kalau begitu menurut tuan apa makna alfutuwah ?”
“Jika diberi kami memuliakannya, jika tidak diberi kami berterimakasih”.
AbduLlah AL-Murta’isyi bercerita : Bersama Abu Hafsh kami serombongan menjenguk
seorang ulama yang sedang menderita sakit keras.
“Apakah tuan ingin sembuh ?”
“ya”
“Pukulah dia”. Perintah Abu Hafsh
Si orang yang sakit tersebut kemudian berdiri lalu keluar bersama kami.
Akhirnya, kami semua menjadi penghuni tempat tidur orang yang sakit dan kami
menjadi orang yang dikunjungi.
sumber: manakib.wordpress.com
Posting Komentar
Posting Komentar