Syaikh Al-Junaid ra. mengatakan, “sikap perwira adalah kemampuan menahan penderitaan dan mencurahkan
kemurahan.” Sedangkan menurut Sahal bin AbduLlah adalah mengikuti sunah. Ada
beberapa pendapat yang memberikan definisi al-futuwah. Sebagian
mengartikan pemenuhan janji dan pemeliharaan baik. Sebagian lagi mengartikan
sebagai perolehan nikmat dan anda tidak memandangnya sebagai kelebihan anda.
Ada juga yang mengartikan tidak lari ketika seseorang peminta menghadapnya atau
tidak menutup jalan orang yang hendak mendatangi tujuannya atau juga tidak
merasa rendah , direndahkan atau mencari-cari alasan.
Terkadang
juga diartikan perwira penampakan nikmat dan merahasiakan
penderitaan, atau digambarkan seperti orang yang mengundang sepuluh orang dan
tidak merasa keberatan jika yang hadir sebelas orang. Pada prinsipnya, sikap
perwira adalah kemampuan untuk meninggalkan sikap membeda-bedakan.
Ahmad
bin Hadrawaih mengusulkan kepada isterinya untuk mengundang seseorang. “Saya
ingin mengadakan jamuan yang mengundang seorang penyair pengembara yang cerdas.
Dia di negerinya dikenal sebagaai seorang tokoh muda yang berjiwa satria,”
katanya.
“Engkau tidak akan mendapatkan petunjuk dengan mengundang dia’” timpal
isterinya.
“Saya harus mendapatkan”.
“Jika memaksakan, maka engkau harus menyembelih beberapa ekor kambing, sapi dan
himar. Kemudian lemparkan binatang sembelihan itu dari pintu seseorang ke pintu
rumahmu.”
Mengenai kambing dan sapi maka saya memahminya, tetapi mengenai himar apa
fungsinya ?”
“Engkau hendak mengundang seorang pemuda satria untuk datang ke rumahmu, maka
jangan menjadikannya lebih sedikit dari kebaikan yang dimiliki seekor anjing.”
Dikisahkan sekelompok ulama mengadakan jamuan makan yang diantaranya terdapat
syaikh Syairazi. Ditengah-tengah mereka makan, tiba-tiba rasa kantuk menyerang
meraka .
“Apa
penyebab kami tertidur ?”
“Tidak
tahu. Namun barang kali ada yang bisa mencari alasan dari cerita saya ini.
Sebelum mengadakan jamuan ini saya telah berusaha keras untuk bisa mengumpulkan
hidangan dengan bahan-bahan yang jelas kecuali seekor anak kambing. Saya belum
sempat menanyakan status hukum anak kambing itu”.
Pagi berikutnya dia dan para undangan ini mendatangi penjual anak kambing.
Mereka menanyakan asal mula anak kambing yang dibeli tuan pengundang.
“Saya
sebelumnya tidak memiliki apa-apa,” jelas penjual kambing.” Kemudian saya
mencucri seekor anak kambing dari seorang petani dan menjualnya.”
Merekapun ahirnya mendatangi petni dan meminta keridhaannya. Petaniitu bersedia
dengan ganti rugi seribu ekor anak kambing, dan kami memberinya dengan
tambahan sebidang tanah, dua anak sapi, seekor himar, dan beberapa alat
pertanian.
Dikisahkan pula tentang seorang pria yang menikahi seorang gadis. Sebelum
menikmati malam pertamanya, laki-laki itu melihat penyakit cacar di sebagian
tubuh isterinya. Dia terkejut dan spontan mengatakan “subhanaLloh, mataku
sakit, saya menjadi buta”. Isterinya terkejut tetapi tidak berapa lama ia
kembali tenang karena suaminya masih bersikap baik dan setia. Dan waktupun
berjalan. Sepasang suami isteri itupun hidup bahagia. Mereka menjalani hidup
selama 20 tahun, selama itu pula ia tidak pernah mengalami perlakuan buruk dari
suaminya sampai ia meninggal. Semenjak ditinggal mati isterinya, lelaki itu
kembali membuka matanya.
“Bagaimana mungkin anda bisa menjadi demikian ?”tanya tetangga yang heran melihat
dirinya tidak buta lagi.
“Saya sebenarnya tidak buta, hanya saja berpura-pura buta supaya isteriku tidak
sedih karena beban mental yang disebabkan penyakit cacarnya”.
“Engkau adalah satria sejati”. Timpal seseorang.
Dzunun al-Mishri mengatakan,”Barang siapa yang menghendaki kepandaian (sikap
satria) maka wajib atasnya meghidangkan air di Baghda”.
“Bagaimana keadaannya ?”
“Ketika saya dibawa menghadap khalifah karena tuduhan kafir, saya melihat seorang
pelayan penghidang minuman yang memakai surban dan sarung tangan model mesir.
Pelayan itu membawa beberapa guci keramik lengkap dengan gelasnya. Saya
menunjuk ke arahnya seraya mengatakan, “Itu adalah seorang penghidang minuman
khusus untuk raja.”
Orang-orang menyangkalnya. “Bukan, dia adalah penghidang minuman untuk umum’.
Melihat pengakuan itu, sayapun langsung mengambil guci dan meminumnya. Saya
mengatakan kepada orang-orang di sekitarku, ‘Barang siapa mengikutiku, maka
saya memberinya dinar.’ Namun tidak seorangpun yang berani megambilnya.’
“Engkau hanyalah seorang tawanan. Bukanlah termasuk golongan satria jika kami
mengambil sesuatu darimu.” Kata salah seorang pengunjung yang tidak setuju
dengan tawaran Dzunun.
Dikatakan juga bahwa sikap mengambil untung dari seorang kawan termasuk bukan
jiwa satria.
- Bersambung ke bagian III
Sumber: manakib.wordpress.com
Posting Komentar
Posting Komentar