Allah
SWT berfirman, “Adapun orang-orang yang takut dengan kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah menjadi tempat
tinggalnya”. (An-Naazi’aat 40-41).
Diceritakan dari Jabir bin AbdiLlah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Saya peringatkan umatku terhadap sesuatu yang saya takuti, yaitu mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Mengikuti hawa nafsu akan menjauhkan diri dari kebenaran sedangkan panjang angan-angan akan melupakan akhirat. Kemudian katakanlah, ‘sesungguhnya mencegah hawa nafsu adalah fondasi ibadah”.
Salah seorang dari para guru sufi pernah ditanya tentang Islam maka beliau menjawab, “Menyembelih nafsu dengan pedang yang mampu mencegahnya. Oleh karena itu katakanlah, orang yang memperlihatkan bekas (pengaruh) hawa nafsunya, maka cahaya kelembutan akan sirna dari hatinya”.
Menurut
Dzunun Al Mishri, kunci ibadah adalah berfikir, tanda-tanda cobaan / ujian
adalah mencegah hawa dan nafsu, sedangkan mencegah keduanya harus meninggalkan
keinginan keduanya. Manurut Ibnu Atha’ Nafsu akan didaki di atas buruknya budi
pekerti, dan seorang hamba diperintah agar terus menerus berbudi pekerti yang
baik. Oleh karena itu nafsu akan berjalan di medan penentangan kebaikan karena
kelobaannya dan seorang hamba akan menolak keburukan tuntutannya dengan
sungguh-sungguh. Barang siapa melepas tali kekangnya (yaitu hawa nafsu) maka ia
akan menjadi temannya dalam membuat kerusakan. Sedangkan menurut Al-Junaid,
nafsu amarah akan selalu memerintah berbuat jahat, mendorong pada perbuatan
merusak yang dipancing oleh musuh-musuh, mengiuti keinginan nafsu, dan
penghiasan diri dengan sifat-sifat buruk.
Abu
Hafs mengatakan, “Barang siapa yang tidak mempedulikan nafsunya sepanjang masa,
tidak mencegahnya dalam segala hal, dan tidak menariknya dari segala hal yang
dibenci, maka dia adalah orang yang tertipu. Barang siapa yang menganggap baik,
maka ia akan dirusak. Bagaimana mungkin orang yang berakal sehat rela terhadap
hawa nafsunya”. Karim bin Karim bin Karim bin karim Yusuf bin ya’qub bin
Ibrahim AL Khalil mengomentari dengan menggunakan firman Allah,”Dan aku tiada
melepaskan hawanafsuku, karena sesungguhnya nafsu itu selalu mememrintahkan
kepada keburukan”. (QS. Yusuf : 53)
Al-Junaid
menceritakan bahwa pada suatu malam ia sedang terjaga dan mengambil bunga warna
merah. Dia belum pernah mendapatkan kenikmatan yang sekarang sedang
diprolehnya. Dia ingin tidur tetapi tidak bisa. Kemudian ia membuka pintu dan
keluar. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang terbungkus dalam selimut yang
terbuang di tengah jalan. Ketika mengetahuinya, laki-laki itu mengangkat
kepalanya kemudian berteriak memanggil, “Wahai Abu Qasim datanglah kepada saya
sejenak”.
“Wahai
tuan, tanpa ada perjanjian “.
“Tentu
saya bertanya tentang penggerak hati yang hatimu ingin bergerak (datang)
kepadaku”.
“Itu
telah terjadi, lantas apa kepentinganmu ?”
“Kapan
penyakit nafsu menjadi obat ?”
“Apabila
engkau mampu mencegah keinginan nafsumu, maka penyakitnya menjadi obat”.
Setelah
itu ia menghadapkan dirinya pada nafsunya. Dia mencoba berkonsentrasi sebelum
akhirnya mengatakan, “Wahai nafsu, dengarkanlah ! Saya telah menjawabmu dengan
jawaban ini sebanyak tujuh kali, kemudian saya menolakmu kecuali engkau mau
mendengarkan jawaban dari Junaid. Saya telah mendengarkannya. Untuk itu
pergilah dariku . saya tidak mau tahu dan tidak mau memberimu posisi”.
Menurut
Abu Bakar At-Thamatsani, kenikmatan yang terbesar adalah kemampuan diri untuk
menghindar dari keinginan nafsu. Ia akan menjadi penghalang yang paling kuat
antara diri hamba dengan Allah. Menurut Sahal bin AbduLlah, orang yang tidak
dapat beribadah kepada Tuhan seperti orang yang tidak mampu mencegah nafsu dan
dorongannya. Ibnu Atha pernah ditanya tentang sesuatu yang paling mendekati
kemarahan Allah. Dia menjawab, “memperhatikan nafsu dan hal ihwalnya. Lebih
hebat dari itu mengetahui tujuan dari aktivitasnya (nafsu).
Ibrahim
Al-Khawas mengatakan, “Saya berada di Gunung Lukam. Ketika itu saya melihat
sebuah delima. Saya sangat menginginkannya. Saya mendekat dan mengambilnya
sebuah. Saya belah dan saya makan, tetapi rasanya masam. Kemudian saya berlalu
dan meninggalkan delima itu. Setelah itu saya melihat seorang laki-laki
terlempar dengan membawa rebana. Saya mengucapkan salam kepadanya, kemudian dia
menjawab, “Wa’alaikum salam yaa Ibrahim”.
“Bagaimana
engkau mengetahui namaku ?”
“Orang
yang oleh Allah telah diberikan pengetahuan ma’rifat maka tidak ada sedikitpun
yang samar / tersembunyi baginya.”
“Saya
selalu melihat keadaanmu selalu bersama Allah. Bagaimana seandainya saya
menanyakan penyakit yang melarang dan menjagamu agar terhindar dari beberapa
tuduhan “.
“Saya
selalu melihat keadaanmu selalu bersama Allah. Bagaimana seandainya saya
menanyakan penyakit yang menjagamu agar terhindar dari keinginan terhadap buah
delima. Sesungguhnya sakit sengatan delima akan ditemukan oleh orang di
akhirat. Sedangkan sakit sengatan beberapa tuduhan akan ditemukan oleh orang di
dunia.’ Setelah itu saya (Ibrahim Al-Khawash) berlalu dan meninggalkannya.
Bersambung ke bagian Kedua
Sumber: manakib.wordpres.com
Posting Komentar
Posting Komentar