Menu

TQN PP.Suryalaya

 

(Oleh: Asep Salahudin MA.g)

Akhir-akhir ini fatwa MUI kerap menimbulkan reaksi masyarakat baik yang pro atau pun kontro. Kelompok ‘Islam liberal’ dengan giat selalu meng-counter beberapa fatwa MUI yang diindikasikan bertentangan dengan kebebasan yang notabene merupakan hak dasar manusia dan di jamin UUD 1945. Di seberang itu, kelompok yang dengan gigih ‘menyelamatkan’ fatwa MUI.
Di antara dua kelompok itu, tentu yang menjadi arus utama adalah masyarakat yang tidak tahu menahu tentang produk-produk fatwa MUI. Bagi kelompok ini ulama di tingkat lokal yang langsung bersentuhan dengan mereka dijadikan pigur otoritatif untuk menjawab hal ihwal mulai dari persoalan agama sampai urusan politik.
Tentu saja fatwa hakikatnya bukanlah hukum positif, dan MUI bukan pula lembaga formal penegak hukum. Fatwa adalah intrupsi moral yang dikeluarkan lembaga keagamaan laiknya NU, Muhamadiyah dan Persis. Tingkat keterikatan umat terhadap fatwa itu tergantung kepada kredibilitas institusi itu di satu sisi, dan di sisi lain berhubungan dengan hal teknis bagaimana fatwa keagamaan itu dikomunikasikan secara simpatik kepada massa yang heterogen.
Hal teknis terakhir ini nampaknya relatif terabaikan MUI sehingga ketika fatwa itu dikeluarkan alih-alih mendapatkan dukungan publik justru seringkali kontra produktif. Nampak jelas MUI tidak cukup paham terhadap pentingnya humas kaitannya dengan komunikasi massa untuk menyampaikan pesan keagamaan. Seperti dikatakan Prof. Rachmat Syafii kepada penulis, bahwa konteks historis turunnya fatwa acapkali tidak tergambarkan ke publik padahal ini justru sangat penting, bukan sekadar kesimpulan fatwanya itu sendiri, sehingga akhirnya nafas kulturalnya menjadi terkesampingkan.

Dinamika Fatwa
M.B. Hooker (2002) dalam penelitian cemerlangnya membongkar alasan filosofis-sosiologis fatwa, “Fatwa ini selalu sangat penting bagi Islam. Bahkan pada abad ke-15/21 sekarang, ia mengemban hal penting yang jarang ditemukan pada awal-awal Islam. Dua ratus tahun yang lalu bangsa-bangsa Muslim tunduk terhadap imperialisme Barat. Periode ini memperlihatkan formulasi hukum syariat ke dalam model Barat yang efektif memutuskan hubungan dengan masa lampau. Syariat, ekspresi fundamental dari wahyu, tetap dijajah oleh pemikiran Eropa. Hanya fatwalah yang mempertahankan hubungan antara tantangan modernitas dengan warisan masa lalu karena argumen-argumen selalu merujuk kepada al-Quran, Sunnah, dan teks-teks klasik tanpa intervensi pengaruh pemikiran Eropa”.
Dalam penelitian Hooker juga dikemukakan tiga faktor yang menentukan corak fatwa tersebut: 
pertama, corak antrpologis terhadap doktrin Islam di mana ajaran Islam disikapi sangat akomodatif terhadap tradisi lokal; 
kedua, corak fatwa pada masa kolonialisme hingga kemerdekaan. Artinya saat di mana Belanda melakuan kontrol yang kekat terhadap munculnya ajaran Islam; 
ketiga, fatwa dalam konstalasi agama dan peran negara dalam kehidupan khususnya masa Orde Baru sampai sekarang.
Penjelasan ini meneguhkan tentang adanya titik singgung yang erat antara fatwa (dan ijtihad) dengan kebijakan penguasa. Dalam tradisi Islam tarik menarik antara agama dan negara selalu kental. Hidup dan matinya sebuah mazhab seringkali ditentukan justru oleh penguasa yang boleh jadi tidak faham terhadap agama. Sebuah faham keagamaan dapat diterima masyarakat biasanya ketika “umara” ikut andil di dalamnya. Ketika umara tidak berkenan maka jangan harapkan sebuah aturan agama dapat berjalan mulus. Dalam ungkapan sosiolog Ibn Khaldun, “Agama rakyat itu tergantung kepada agama penguasa.”
Bagaimana misalnya, sebagaimana diceritakan K.H. Hafidz Utsman, di Syria ulama sekaliber Prof. Dr. Wahbah Zuhaili saja untuk penetapan 1 Syawwal (dan 1 Ramadhan) cukup bertanya kepada santrinya, “Anda sudah mendengar berita di radio tentang pengumuman hari lebaran dari pemerintah?” 
Di negara kita ceritanya lain lagi.

Prosedur fatwa
Dalam tradisi hukum Islam, fatwa (ifta’) bukanlah hal asing. Ushul Fikih (epsitemologi hukum Islam) dengan cukup utuh telah memberikan kode etik serta persyaratan ketat berkaitan dengan fatwa sebagaiman dalam yurisprudensi klasik dibuat al-Bagdadi (w. 429/1037). Ketatnya persyaratan seperti ini diasumsikan agar sampai tidak keluar sebuah fatwa yang liar (walaupun sebenarnya sebuah fatwa bisa berubah di kemudian hari) yang dalam tradisi pembentukan hukum Islam disebut dengan tahakkum (membuat-buat hukum yang sangat di kecam al-Quran), “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta. ‘Ini halal dan ini haram’ untuk mengadakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengadakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” (QS. al-Nahl: 116). Sabda Muhammad saw, “Orang yang paling berani di antara kamu untuk berfatwa adalah orang yang paling berani masuk neraka” (HR Darami).
Kerangka ini yang menjadi latar MUI mengeluarkan pedoman yang mengatur prosedur dan sistem pemberian jawaban keagamaan. Disebutkan empat dasar umum penetapan hukum: (1) setiap keputusan harus memiliki dasar dalam al-Quran dan sunnah Nabi; (2) Jika tidak ditemukan dalam Quran dan hadis maka fatwa itu tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas yang mu’tabar, dan metode hukum lain (istihsan, masalihul mursalah, dsb); 3) sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para imam mazhab terdahulu; 4) pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangan.
Tiga hal lainnya yang berkaitan dengan prosedur penetapan fatwa: (1) setiap masalah dipelajari dengan seksama; (2) masalah yang talah jelas hukumnya disampaikan sebagaimana adanya; (3) dalam masalah khilafiyah, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan fikih muqaran (fikih perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fikih yang berlaku.
Tentu paradigma sebagai sumber acuannya adalah prinsip universal kemaslahatan manusia yang menjadi modus utama syariah (maqashid asy-syariah) yang meliputi: agama (al-din), jiwa (al-nafs), keluarga (al-nasl), nalar (al-‘aql), dan harta benda (al-mal). Yusuf al-Qardlawi dalam Ri’ayatu al-Bi’ah fi al-Syarî’ati al-Islamiyyah menambahkan bahwa memelihara lingkungan derajatnya sama dengan prinsip universal itu.

Khilafiyah
Laiknya sebuah pemikiran apalagi yang berkaitan dengan masalah furu’iyah (bukan persoalan ushuluiyah/fundamental agama) selalu menyisakan satu kemungkinan: khilafiyah (diperdebatkan). Fatwa yang dikeluarkan Nahdatul Ulama, Muhamadiyah, Persis dan MUI dalam merespon perkembangan modernitas dan kompleksitas perkembangan kebudayaan manusia satu sama lain ada perbedaan. Di samping juga tidak sedikit persamaan.
Tradisi ijtihad adalah tradisi dengan heterogenitas (keragaman) pendapat (aqwal) termasuk tampilnya pendapat arus kecil (qil). Perbedaan yang akarnya sangat beragam. Minimal ada tiga. Pertama, faktor eksternal sumber utamanya al-Quran yang banyak di kemas dalam bentuk ayat-ayat simbolik. Resiko dari teks simbolik adalah perbedaan interpretasi dalam memaknainya; Kedua, faktor eksternal yang berhubungan dengan sosio-kultural sang penafsir; Ketiga, pilihan metodologi penetapan hukum yang berbeda.
Bahkan dalam pribadi seorang mujtahid sekali pun terbuka untuk berbeda ketika terjadi perubahan ruang dan waktu. Kasus revisi hukum yang dilakukan Imam Syafi’i dari qaul qadim (pendapat klasik ketika beliau berdomisili di Irak) menjadi qaul jadid (pendapat baru tatkala bertempat di Mesir) merupakan bukti utama adanya pergeseran hukum sebagaimana terlacak dalam al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i (Abu Ishaq Ibarahim asy-Syirazi) dan kitab al-Imam asy-Syafi’i fi Madzahib al-Qadim wa al-Jadid (Ahmad Nahrawi Abdu Salam). Al-Qurannya sendiri memberikan contoh tentang teori amandemen: ayat yang satu diamandemen (mansukh) oleh ayat yang lainnya (nasikh).

Alhasil, fatwa adalah sesuatu yang bersifat ijtihadi. Termasuk penafsiran kelompok yang tidak sepakat dengan fatwa itu. Justru menjadi tidak proporsional ketika disikapi sebagai sesuatu yang mutlak. Seandainya yang terakhir yang terjadi, maka inilah tragedi yang disebut Muhammad Arkoun sebagai madaniyawat al-makna (mitologisasi makna). Pemahaman seperti ini pada gilirannya akan melahirkan pemberhalaan terhadap nalar Islam (taqdis al-afkar al-Islamiy). Anehnya, ini yang justru kerap kali muncul dalam pengalaman keberagamaan kita. Dialogpun tertutup, dan andaipun ada maka sama sekali tidak produktif sebagai “rumah aspirasi” umat.***

Penulis, wakil rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya.

DINAMIKA KULTURAL FATWA/HU Pikiran Rakyat, Senen, 09 Agustus 2010


Posting Komentar

 
Top