Menu

TQN PP.Suryalaya

 


Menurut Toshihiko Izutsu, dalam Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, diterangkan bahwa nama  ALLAH telah ada sejak masyarakat Arab pra-Islam. 
Ia menerangkan masalah makna dan hubungannya kata ALLAH di kalangan orang-orang Arab pra-Islam dengan tiga kasus;
Pertama, adalah konsep Pagan tentang Allah, yaitu orang Arab Murni. Di sini terlihat orang-orang Arab pra Islam yang berbicara tentang “Allah” sebagaimana yang mereka pahami.
Kedua, orang-orang Yahudi dan Kristen zaman pra-Islam yang menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka sendiri. Di sini tentu saja “Allah”  berarti Tuhan Injil.
Ketiga, Orang-orang Arab  pagan, Arab jahiliyah murni, non-kristen dan non-Yahudi,  yang mengambil konsep Tuhan Injil, “Allah”. Hal ini terjadi ketika seorang penyair Badwi yang bernama Nabighah dan al-A’sha al-Kabar menulis puisi  pujian yang mengarah pada konsep Arab tentang Allah ke arah monoteisme.

Makna Lafadz ALLAH
Menurut *Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir al-Kabir (Mafaatih al-Ghaib), supaya bisamemahami lafadz ALLAH, maka metode yang paling mendukung adalah dengan menyimak tafsir dari lafadz ini, karena dasar/landasan dari segala pandangan teologis, bertumpu padacara menafsirkan dan menginterpretasikan lafadz ALLAH.
Secara etimologi, ALLAH adalah nama Arab. Menurut Imam ar-Razi, asal dari lafadh ALLAHadalah AL-ILLAHLafadz tersebut terdiri dari enam huruf, namun kata ILLAH  tersebut ketika diganti dengan perkataan ALLAH tinggal empat huruf dalam tulisan, yaitu hamzah (أ), dua lam (لل), ha (ه).
Lafadz ALLAH merupakan lafadz Keagungan (lafadz al-Jalalah) dan juga merupakan nama diri-Nya (Ism al-Dzat), nama esensi dan totalitas-Nya. Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib,  Imam Ar-Razi juga menyebutkan bahwa nama ALLAH adalah al-Ism al-A’dzam.

Menurut Imam Ar-Razi, lafadz  ALLAH  tersebut tersusun dari empat huruf. Jika huruf  pertama Alif  dihilangkan, tiga huruf  lainnya menjadi  simbol alam semesta, wujud, yang mencakup alam nyata (dunya) dan langit ghaib di atas cakrawala bintang-bintang; Alam kubur (barzakh) dan surga; Akhirat (akhirah).  Huruf pertama, Alif, merupakan sumber segala sesuatu, dan huruf terakhir, Hu (Dia), adalah sifat Allah yang paling sempurna, Yang Maha Suci dari  semua sekutu.

Imam Ar-Razi juga berpendapat (dalam Kitab Mathalib al-‘Aliyah min al ‘Ilmal-Ilaahi), bahwa Allah adalah Dzat yang paling mulia secara mutlak. Allah  merupakan nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan  keagungan Tuhan. Allah merupakan Tuhan alam semesta, Tidak ada sekutu baginya,Tidak ada bandingannya, dan tidak ada yang menyerupainya.

Pendapat tersebut mirip dengan pendapatnya Ibnu Katsir (dalam Tafsir al-Qur’an al-Adhim), bahwa Allah adalah nama diri al-Ism al-A’dzam. Allah juga merupakan nama yang khusus dan  tidak ada sesuatu pun yang memiliki nama itu selain Allah Rabb al-‘Alamin (Tuhan seluruh alam semesta). 

Jadi dari uraian di atas, makna lafadz ALLAH  tersebut merupakan suatu ‘nama diri’ (proper name). Ibnu Katsir dalam tafsirnya juga menjelaskan bahwa Allah adalah al-Ism al-Jamid  (kata benda yang tidak berasal-usul dari kata lain). Begitupun dengan pendapat Imam Syafi’i  dan Imam al-Ghazali, bahwa lafadz ALLAH adalah isim (kata benda) yang tidak memiliki akar kata, artinya, bukan isim musytaq  yang memiliki akar kata.
Dalam al-Qur’an ada ayat yang menunjukkan bahwa lafadz ALLAH adalah ‘nama diri’,  yaitu:

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, LAA ILAAHA ILLA ANAA - tidak ada Tuhan (yang haq) selain Aku.” (QS. Thahaa : 14)

Dalam penafsiran Ar-Razi, lafadz LAA ILAAHA ILLA ANAA, merupakan kalimat yang menunjukkan kepada Istbat (ketetapan) Allah, mengisyaratkan pengetahuan pokok dan juga tidak pantas menyandangnya kecuali diri-Nya.

Makna Lafadz LAA ILAAHA ILLALLAAH

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya LAA ILAAHA ILLALLAAH - tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah...” (QS. Muhammad : 19)

Menurut ar-Razi, lafadz LAA ILAAHA ILLALLAAH  disebut sebagai Kalimat Tauhid,  karena menunjukkan peniadaan sekutu Allah secara mutlak. Dikatakan secara mutlak karena Allah berfirman, 

وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الرَّحْمَنُالرَّحِيمُ

Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak adaTuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah: 163)

Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur di dalam Sunan-nya, al-Faryabi di dalam Tafsir-nya, dan al-Baihaqi di dalam kitab Syu’abul Iman, yang bersumber dari Abudl Dluha. As-Suyuthi berpendapat bahwa hadits ini mu’dlal, tetapi mempunyai syaahid (penguat). Bahwa ketika turun ayat tersebut (QS. al-Baqarah, 2:163), kaum musyrikin kaget dan bertanya-tanya:“Apakah benar Tuhan itu tunggal? Jika benar demikian, berikanlah kepada kami  bukti-buktinya.” Maka turunlah ayat berikutnya (QS. al-Baqarah, 2:164) yang  menegaskan adanya bukti-bukti Kemahaesaan Tuhan.

Mungkin ada dugaan dalam pikiran seseorang bahwa Tuhan kami adalah  satu, sementara Tuhan orang lain, berbeda dengan Tuhan kami. Menurut ar-Razi, dugaan  semacam ini terbantahkan dan lenyap,  lewat makna tauhid secara mutlak, yaitu Firman Allah, 

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَالِمُالْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ

"Dialah Allah yang LAA ILAAHA ILLA HUWA (Tiada Tuhan selain Dia), Yang Mengetahui yang  ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang."(QS. al-Hasyr, 59 : 22)
Dan juga dengan QS.al-Hasyr, 59:23 dan QS. al-Mu'min, 40:3

Dalam menjelaskan Ayat  LAA ILAAHA ILLA HUWA tersebut , Imam Ar-Razi  menggambarkan, ketika kita berkata, “Tidak ada orang di rumah,” berarti kita meniadakan esensinya. Ketika esensinya tidak ada,maka semua bagiannya juga tidak ada. Seandainya salah satu bagiannya ada, berarti  esensinya ada. Sebab setiap bagiannya mencakup esensi tersebut. Jika esensinya  ada, itu bertentangan dengan peniadaan esensi. 
Jadi ungkapan, “Tidak ada orang di rumah,”  berarti peniadaan secara total. Kalau sesudah itu disebutkan kecuali Zayd,  berarti peng-esaan  secara total. Berarti Tiada Tuhan selain Allah memberikan makna pengesaan  secara total. 

Kedudukan Lafadz ALLAH
Menurut Imam Ar-Razi, kedudukan lafadz  ALLAH, dalam ilmu nahwu berkedudukan ‘marfu’. Sebab, ia badal (pengganti) dari posisi lafadz LAA  dan nominanya. Sebagai penjelasannya, jika ada ungkapan, “Ma ja’ani rajul illa Zayd (Tidak ada seorangpun mendatangiku kecuali Zayd)”, disini kata Zayd berbentuk marfu’  karena badal tadi. Dalam konteks ini bagian pertama diabaikan, sedang yang dilihat adalah bagian keduanya. Dengan demikian asumsi dari kalimat diatas, “Ja’ani Zayd (Zayd mendatangiku).”
Ini sangat logis  karena kalimat di atas  menafikan kedatangan siapapun, kecuali kedatangan Zayd. Adapun ungkapan, Ja’ani al-qawm illa Zayd (Semua orang datang kecuali zayd)”, disini badal tidak bisa diberlakukan. Sebab asumsinya, Ja’ani illa Zayd(datang kepadaku kecuali Zayd).” Artinya semau orang datang kepadanya kecuali Zayd. Ini mustahil.

Maksud lafadz ILLA
Menurut Imam ar-Razi, lafadz ILLA disini diasumsikan bermakna ghayr (selain). Alasannya, kalau lafadz ILLA diartikan sebagai pengecualian, maka kalimat  LAA ILAAHA ILLALLAAH  tidak murni sebagai Kalimat Tauhid. Sebab, asumsi kalimat tersebut menjadi: Laa ilaaha yustatsna ‘anhum Allah - Tiada tuhan terkecuali dari mereka (tuhan-tuhan itu) Allah. Artinya semua Tuhan dinafikan, sementara  Allah sebagai pengecualian. Jadi kalau lafadzILLA diartikan sebagai pengecualian, maka ungkapan  LAA ILAAHA ILLALLAAH  bukan tauhid yang murni. Karena para ulama sepakat bahwa kalimat tersebut berisi tauhid murni, maka menurut Imam Ar-Razi, lafadz  ILLA  harus diartikan dengan ghayr agar makna kalimatnya menjadi Laa ilaaha ghayr Allah (Tiada Tuhan selain Allah). 



Selain merupakan Kalimat Tauhid, lafadz LAA ILAAHA ILLALLAAH  juga berfungsi sebagaiNAFI (penafian) dan ITSBAT (penetapan). Dalam hal ini ‘penafian’ lebih didahulukan daripada ‘penetapan’ Wujud Allah. Alasan yang dikemukakan Imam ar-Razi adalah :

Pertama, meniadakan  sifat Tuhan dari selain-Nya dan kemudian diikuti dengan menetapkan sifat  tersebut untuk-Nya lebih kuat daripada langsung menetapkan tanpa meniadakan selain-Nya.
KeduaLAA ILAAHA ILLALLAAH   berfungsi mengeluarkan segala sesuatu selain Allah dari kalbu. Sehingga tatkala kalbu telah kosong dari yang selain Allah, lalu terlintas di dalamnya kekuasaan Allah, cahayanya akan bersinar terang dan kekuasaan-Nya akan tampak secara sempurna.
Ketiga, penafian yang diperoleh melalui lafadz LAA (tiada) berkedudukan seperti thaharah(bersuci). Sementara penetapan wujud  dengan lafadz ILLA (selain) berkedudukan sepertithaharah dalam shalat. Jadi LAA ILAAHA harus lebih didahulukan dari pada ILLALLAAH.

Dengan demikian, lafadz  LAA ILAAHA ILLALLAAH tersebut merupakan perkara pokok(ushul). Dengan memahami hakikat kalimat tauhid tersebut, berarti sebagai Muslim, telah mengesakan Allah secara total. Karena sumber pokoknya adalah Ketauhidan, maka tak aneh jika kemudian lafadz LAA ILAAHA ILLALLAAH juga menempati posisi istimewa. Seorang Muslim yang menyatakan keyakinannya hanya pada Allah semata, maka harus menafikan ilah-ilah yang lain sembari meneguhkan keyakinan bahwa hanya ada satu ilah, yaitu Allah SWT. 
*Keterangan:
FAKHRUDDIN AR RAZI (544-610 H / 1149-1209 M)
Beliau bergelar Syaikhul Islam. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Umar bin bin Al-Hasan At-Tamimy Al-Bakry Al-Qurasyi At-Tibristani Ar-Razi Asy-Syafi’i Al-Asy’ari.

KARYA-KARYANYA :

- Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib (Pembuka yang ghaib / kunci-kunci misteri), merupakan karya tafsir terbesarnya. Kitab tafsir ini dianggap sebagai salah satu kitab tafsir terbaik dan monumental (terdiri dari 18 jilid), yang amat besar pengaruhnya dan dijadikan pedoman oleh para ahli tafsir sesudahnya.
- al-Matalib al-'Aliyah min al-‘Ilm al-Ilahi (9 jilid). Kitab tentang ilmu kalam dan yg terakhir ia buat.
- al-Asas al-Taqdis (Dasar-dasar penyucian), merupakan karyanya tentang ilmu kalam / teologi.
- al-Arba’in fi Ushuluddin (40 pokok masalah agama) karyanya tentang teologi / ilmu kalam.
- al-Muhashshal (Perolehan) atau lengkapnya al-Muhashshal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhirin min ulama wa al-hukuma wa al-Mutakalimun, karyanya tentang ilmu kalam.
- Kitab Irsyad an Nazar ila Lata’if al-Asrar, karyanya dalam bidang tasawuf.
- Kitab Syarh ‘Uyun al-Hikmah, merupakan syarh / komentar terhadap karya Ibn Sina, ‘Uyun al-hikmah, tentang tasawuf. 
- Mabahits al-Masyriqiyyah (pembahasan ihwal filsafat ketimuran).
- Syarh Qism al-ilahiyat min al-Isyarah li Ibn Sina, tentang filsafat.
- Lubab al-Isyarat, tentang filsafat.
- Manaqib al-Imam asy-Syafi’i, merupakan kitab riwayat (sejarah biografi) Imam Syafi’i.
- Kitab Syarh Saqt al-Zind li al-Murri, tentang kitab sejarah.
- al-Maushul fi Ilm Ushul al-Fiqh, tentang ushul fiqih/ kaidah fiqih. 
- Tibb al-Kabir, Tentang kedokteran.
- Masa’il al-Thibb, tentang kedokteran
- al-Munazarat Bain an-Nasara, buku hasil perdebatannya dengan seorang pendeta kristen. 
- al-Ma’alim fi Ushul al-Din
- Siraj al-Qulub
- Lawami’al Bayyinat fi Syarh Asma’ Allah wa al-Sifat.
- Kitab al-Qada wa al-Qadar
- Kitab al-Mulakhkhas fi al-Falsafah
- Al-Milah wa an-Nihal
- Kitab Ihkam al-Ahkam
- Al-Akhlaq
- Fi al-Hadasah



SUMBER: STATUS USTADZ BADRU SALAM DI FACEBOOK

Posting Komentar

 
Top