Apabila seorang murid memulai
majelis dzikir sendirian hendaknya tidak diam lebih dahulu sebelum ia berhasil
hilang (gaib) dari segala yang wujud di alam. Sebab disyariatkannya dzikir
hanya sebagai sarana untuk bisa hadir bersama al-Haq Swt. Maka selama seorang
murid masih menyaksikan sesuatu dari alam, berarti ia belum masuk ke hadirat
al-Haq. Dan apabila ia sudah masuk ke hadirat dan hatinya juga hadir bersama
al-Haq, maka pada saat ini hendaknya diam tanpa bicara. Sebab dzikir secara
lafal tidak ada artinya lagi ketika bersamaan dengan kesaksian hamba terhadap
al-Haq Swt. Bahkan andaikan hamba yang hadir dengan hatinya ini hendak
berdzikir (menyebut) Allah dengan lisannya ia tidak akan sanggup berucap. Sebab
hadirat ini hadirat yang penuh kewibawaan, keagungan, dan kebisuan.
Dalam sebagian kesempatan yang dilakukan al-Bashri, Allah Swt.
berfirman: “Bilamana engkau belum melihat-Ku maka teruskan untuk selalu men
yebut Nama-Ku, dan apabila telah melihatKu maka diamlah. Sebab Aku
mensyariatkan kepadamu agar engkau selalu men yebut Nama-Ku hanyalah sebagai
sarana (wasilah) untuk bisa hadir bersama-Ku. Karena sesungguhnya Nama-Ku tidak
pernah memisahkan Aku.”
Saya pernah mendengar Tuan
Guru Ali al-Murshifi berkata: “Tidak akan terbukakan
sesuatu dan anugerah Tuhan dalam hati seorang murid selama dalam pikiran dan
hatinya masih berusaha menghadirkan sesuatu dan alam. Sebab terbukanya anugerah
dalam hati hanyalah untuk orang yang telah menyaksikan al-Haq Swt. dengan
hatinya dan hilang dan segala sesuatu selain al-Haq.”
Maka bisa diketahui, bahwa
tidak sepantasnya seorang murid memutus majelis dzikir sebelum ia berhasil gaib
(hilang) dari alam.
Sebab orang yang telah
memutuskan diri dan majelis dzikir sebelum berhasil gaib maka seakan-akan tidak
pernah mengingat Allah sedikit pun, dilihat dari buah yang dihasilkan dalam
peningkatan spiritual, sekalipun hal itu sudah dicatat sebagai amal baik. Oleh
karenanya, asy-Syibli mengatakan: “Barangsiapa mengingat (berdzikir) Allah
secara hakikat maka ia akan lupa segala sesuatu yang ada di sekiranya.”
Sementara itu al-Junaid mengatakan: “Barangsiapa menyaksikan makhluk maka tidak
akan melihat al-Haq, dan barangsiapa menyaksikan al-Haq, maka tidak akan
melihat makhluk kecuali ia termasuk orang yang sangat sempurna.”
Az-Zafi —rahimahullah—
mengatakan: “Setiap dzikir yang waktunya tidak lama, ibarat makanan yang tidak
bisa mengenyangkan.” Ia juga pernah mengatakan, “Diantara adab berdzikir,
hendaknya orang yang berdzikir tidak diam lebih dahulu selama ia masih
merasakan kenikmatan berdzikir. Dan apabila sudah merasakan kejenuhan maka
adabnya adalah diam.” Demikian pula dimakruhkan (tidak disuka) makan lagi
setelah ia merasa kenyang, dan melakukan shalat setelah kenyang yang bisa
menghilangkan kekhusyu’an, kecuali setelah mencernanya dengan memperbanyak dzikir.
Sebab anggota tubuh akan menjadi maksiat dengan tidak menghadap kepada Allah
secara sempurna. Maka ibadah ini sama seperti ibadah orang yang dipaksa,
sebagaimana tidak diterimanya keislaman seorang kafir dzimmi yang dipaksa
memeluk Islam, maka demikian halnya dengan ibadah orang yang terpaksa.
APAKAH SEORANG MURID MENJADIKAN
WIRID-NYA BERMACAM-MACAM?
Dari sini Nabi saw
mensyariatkan bermacam-macam wirid untuk hamba. Maka barangsiapa merasa jenuh
dengan suatu wirid, maka ia bisa pindah ke wirid lain, sekalipun wirid yang
kedua ini kurang utama. Andaikan seorang hamba tidak memiliki kejenuhan, tentu
Nabi tidak akan memberi benmacam-macam wirid, akan tetapi beliau hanya akan
memberi satu wirid yang terus-menerus sebagaimana malaikat. Maka pahamilah!
KAPAN MURID MELIPAT KEDUDUKAN SPIRITUAL
(MAQAMAT)-NYA?
Tuan Guru Ali al-Munshifi
berkata: “Apabila seorang murid berdzikir kepada Tuhannya dengan penuh
kegigihan, maka kedudukan spiritual (maqamat)-nya akan segera terlipat dan
tidak terlalu lamban. Barangkali ia hanya akan menempuhnya dalam waktu satu jam
apa yang biasanya ditempuh orang lain dalam waktu sebulan atau lebih.” Ia juga
mengatakan: “Seorang salik (penempuh jalan Tuhan) yang berdzikir ibarat burung
yang terbang bersungguh-sungguh untuk mencapai hadirat kedekatan. Sedangkan
seorang salik yang tanpa bendzikir, ibarat orang lumpuh yang sesekali merangkak
kemudian berhenti lagi, sementara jarak yang harus ditempuh sangat jauh.
Barangkali orang yang menempuh perjalanan seperti ini akan menghabiskan seluruh
usianya dan belum juga sampai pada tujuannya.”
Al-Junaid —rahimahullah—
bila diminta seorang murid untuk mendoakannya, maka ia berkata: “Saya memohon
kepada Allah agar Dia menunjukkan anda kepada-Nya melalui cara yang paling
efektif.” Hal itu dilakukan agar api kejauhan akan segera padam, dan berharap
bisa menyaksikan hadirat al-Haq Azza wa Jalla sekalipun hanya sekejap sebelum
kematiannya.
Tuan Guru Ali al-Munshifi
mengatakan: “Diantara adab para jamaah apabila berdzikir bersama guru maka
mereka tidak boleh menerjang isyarat sang guru. Apabila sang guru memberi
isyarat mereka untuk diam, maka hendaknya salah seorang dari mereka tidak
meneruskan berdzikir, selagi perasaan inderawinya masih berfungsi. Sebab bila
ia meneruskan berdzikir sementara ia belum bisa gaib dari para jamaah yang
hadir maka dzikirnya adalah tindakan kemunafikan (riya’) yang tercampur dengan
ketidaksopanan. Sebab seorang guru tidak akan berkata kepada mereka, ‘Diam!’
kecuali setelah minta izin kepada al-Haq Swt. akan hal itu dengan cara yang
sudah dimaklumi di kalangan kaum sufi. Sedangkan melanggar izin dari al-Haq
termasuk keluar dari adab, yang mengakibatkan murka.” — Dan hanya Allah Yang
Mahatahu.
Sumber: sufinews online
Posting Komentar
Posting Komentar