[Umat Islam Indonesia Harus Cermat dan siap menghadapi MEA] |
Pegiat ekonomi Indonesia mulai bersiap
menghadapi era pasar bebas yang akan diberlakukan akhir tahun ini. Era pasar
bebas sendiri merupakan hasil dari terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Pasar bebas ini sendiri meliputi bidang permodalan, barang dan jasa, serta
tenaga kerja.
MEA dibentuk dengan
tujuan untuk meningkatkan stabilitas dan mengatasi masalah perekonomian
negara-negara ASEAN. Selain itu, MEA juga ada sebagai penguat daya saing ASEAN
dalam menarik investasi asing. Kesepakatan ini dibuat oleh para pemimpin ASEAN
dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Desember 1997 lalu, di Kuala Lumpur,
Malaysia. Pada KTT selanjutnya di Bali Oktober 2003, petinggi ASEAN
mendeklarasikan bahwa pembentukan MEA akan dimulai pada tahun 2015.
Dikutip dari nationalgeographic.co.id, ada beberapa konsekuensi dari adanya
MEA. Konsekuensi tersebut yakni arus bebas barang dan jasa, arus bebas
investasi, arus tenaga kerja terampil, serta arus bebas modal. Untuk menghadapi
dampak-dampak itu, Indonesia masih memiliki kendala.
Pertama, mutu pendidikan
tenaga kerja Indonesia masih rendah. Tercatat hingga Februari 2014 lalu, jumlah
pekerja berpendidikan SMP ke bawah hanya sebanyak 64 persen, atau sebanyak 76,4
juta orang dari total 118 juta pekerja. Kedua, kelancaran arus barang dan jasa
pun masih lemah karena ketersediaan dan kualitas infrastruktur yang minim.
Ketiga, sektor
industri lokal rapuh akibat ketergantungan impor bahan baku dan setengah jadi.
Keempat, Indonesia masih terhambat keterbatasan pasokan energi. Kelima,
lemahnya Indonesia menghadapi serbuan impor.
Meski demikian,
Presiden Joko Widodo dalam bisnis.com mengatakan pengusaha dalam negeri
tak usah cemas. Kekhawatiran yang sama dalam menghadapi MEA pun dihadapi negara
ASEAN lainnya. Justru, Indonesia jadi negara yang paling ditakuti.
Indonesia memang
memiliki potensi ekonomi yang luar biasa. Jumlah penduduknya mencapai angka 250
juta jiwa. Tentu jauh lebih banyak dibanding negara lain di kawasan yang sama,
dengan jumlah penduduk 15 juta-70 juta jiwa.
Bila ditarik ke
arah yang lebih spesifik, 50 persen penduduk ASEAN beragama Islam. Ini
membuktikan bahwa peluang pasar ekonomi syariah sangat besar. Apalagi
produk-produknya juga dapat dinikmati penduduk yang non-muslim. Tak hanya soal
kemandirian umat Muslim dalam sektor ekonomi. Hal ini dapat menjadi ajang
dakwah, mengingat dasar ekonomi syariah yang berasaskan keadilan.
Meski demikian, tribunjogja.com melaporkan, perkembangan
perekonomian syariah masih dibilang stagnan. Buktinya perbankan syariah di
Indonesia hanya memiliki pangsa pasar sebesar 5 persen, tertinggal jauh
dibanding Malaysia yang telah mencapai 20-25 persen. Total aset yang dimiliki
pun hanya Rp 250 triliun, terpaut jauh dengan total aset perbankan konvensional
di Indonesia yang mencapai lebih dari Rp 50 ribu triliun.
Solusinya, perlu
ada perluasan pasar. Pasar ekonomi syariah jangan hanya terbatas pada penduduk
muslim, tapi juga pada penduduk non-muslim.
Masih dalam berita
yang sama, Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi
Hamid pun mengatakan, produk-produk perekonomian syariah juga harus dibuat
beragam. Tak hanya terbatas pada produk finansial, namun juga ekonomi secara
luas. Misalnya produksi makanan dan minuman halal, restoran halal, tenaga kerja
profesional Islami, hotel syariah, dan lain-lain.
Masih banyak
tantangan lain dalam mengembangkan ekonomi syariah. Seperti peningkatan daya
saing dan peningkatan pendapatan penduduk kelas menengah. Masih ada pula
tantangan regulasi dan strategi yang terintegrasi antarsektor.
Untuk
menghadapinya, dibutuhkan muslim-muslim tangguh yang berkomitmen memberdayakan
umat. Masjid, dalam hal ini, seyogyanya berperan sebagai pengkader mental agar
Indonesia dapat kuat menghadapi ujian apa pun.
Pasar bebas
ASEAN, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 dipandang beberapa pengamat
sebagai pisau bermata dua. Bebasnya arus barang, jasa, investasi, bahkan tenaga
kerja berpotensi melemahkan kemandirian ekonomi bangsa. Praktisi Branding Subiakto Priosoedarsono
dalam selasar.com mengatakan, kondisi ekonomi Indonesia
kalah oleh Thailand dan Philipina, apalagi Brunei, Malaysia, dan Singapura
dilihat dari beberapa data.
Hal ini disadari betul oleh Staf Kajian Strategis dan Pegerakan
GAMAIS ITB, Ricky Alamsyah. Baginya, ada dua hal yang perlu disiapkan
jelang era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akhir 2015 mendatang. Dua hal
tersebut adalah kualitas tenaga kerja dan kemandirian.
“Kita bisa saja menjadikan MEA 2015 itu peluang. Caranya, kita harus
menguatkan daya saing kita. Nanti yang melamar di perusahaan Indonesia, bukan
orang Indonesia saja,” ungkap Ricky. “Di samping meningkatkan produksi, kita
harus meningkatkan kualitas tenaga kerja kita.”
Walaupun upgrading tenaga kerja terkesan seperti memenuhi kebutuhan
industri, Ricky mengatakan poin “cinta negeri” tak ditanggalkan. Baik barang,
jasa, serta tenaga kerja dalam negeri lebih baik memenuhi kebutuhan negeri
terlebih dahulu. “Jangan sampai cabai impor lagi. Atau kedelai impor,” ujar
mahasiswa Teknik Lingkungan ITB 2012 tersebut.
Ricky menyarankan kepada mahasiswa agar sama-sama meningkatkan
kualitas. Bisa dimulai dengan meningkatkan nilai IP (indeks
prestasi.red) dan mengasah soft
skill. Ricky
menambahkan, jajaran top management biasanya memiliki soft skill yang baik
walaupun IPK perkuliahannya sedang-sedang saja.
“Cintai juga bangsa ini. Jangan luntang-lantung ke luar dulu,
perkuat dalam negeri sehingga bisa bekerjasama dengan luar negeri,” simpul
Ricky.
Ricky juga mewanti-wanti satu hal penting lain dalam menghadapi MEA
2015, kewirausahaan. Ia menyoroti jumlah wirausahawan di Indonesia yang
cenderung sedikit, yaitu sekitar 5 persen dari keseluruhan penduduk. Sedangkan
di Amerika Serikat sendiri jumlah wirausahawan mencapai 10-15 persen.
“Kalau wirausahawan di Indonesia semakin sedikit, akan semakin
banyak wirausahawan asing masuk ke kita,” kata Ricky.
Pertanian dalam negeri, menurut Ricky, menjadi bidang yang wajib
disoroti oleh semua pihak. Terlebih, Indonesia dikenal sebagai negara yang
memiliki sumber daya melimpah dalam bidang agraris. Jika Indonesia tidak bisa
mengelola sumber dayanya sendiri, maka akan dicaplok oleh bangsa lain.
“Ketika acara GAMAIS di Cianjur kemarin, saya bahkan melihat ada
usaha strawberryyang
dimiliki oleh orang Belanda. Lalu ada juga usaha bunga yang dimiliki oleh
pengusaha Korea Selatan,” kata Ricky. “Kalau sudah tidak menguntungkan, mereka
akan pergi. Sedangkan kalau diurus oleh orang Indonesia setidaknya ada rasa
kepemilikan tanah air-nya.”
Ditanya apakah MEA 2015 ini dapat berjalan sesuai dengan kaidah
perdagangan Islam, Ricky sendiri masih kebingungan. Alasannya, zaman dahulu
kewilayahan dan pemerintahan Islam sangat jelas batasnya. Pemimpin pemerintahan
Islam lah yang menentukan boleh atau tidaknya kerjasama pendidikan.
“Misalkan Islam boleh saja bekerja sama dengan Kerajaan Romawi.
Tetapi Islam tidak boleh bekerja sama dengan negara-negara Eropa bagian utara
yang belum terjangkau karena diperkirakan akan merugikan” ujarnya. “Sekarang
pemimpin Islam siapa, wilayahnya mana?”
Pertanyaan tersebut ialah tantangan bagi kita. Sudahkah diri ini
siap menempa saleh diri— baik saleh duniawi dan ukhrawi– sehingga Allah pun
sudi mewariskan bumiNya?
Sumber: salmanitb.com
Posting Komentar
Posting Komentar