Ada dua pokok pengertian yang terkandung dalam jawaban Nabi Saw., yang singkat
namun padat itu. Pertama, pernyataan beriman kepada Allah. Kedua, bersikap
istiqamah, konsekuen dan konsisten.
Perinsip yang pertama, beriman kepada Allah artinya mengakui dan meyakini
dengan sepenuh hati terhadap kemandirian (ketauhidan) Allah dalam segenap
ihwal-Nya di alam semesta ini. Tegasnya, menerima dan mengakui dengan sepenuh
hati bahwa satu-satunya yang berdaulat penuh di alam semesta ini adalah Allah
Swt. Dialah Sang Pencipta, Pengatur, Pengurus dan Penguasa Tunggal alam semesta
ini. Sedang selain-Nya, apa dan siapa pun dia, tidak lebih hanyalah makhluk dan
hamba-Nya belaka. (lihat QS. Al-Muluk : 1-5)
Pengakuan terhadap Allah yang demikian itu, jika benar-benar tumbuh dari
kesadaran hati, tentu akan melahirkan sikap ”penyerahan” secara bulat dan utuh
kepada-Nya, baik secara lahiriah maupun batiniah, secara lisan maupun tindakan
nyata. Itulah hakikat beriman kepada Allah Swt. Jadi, bukan sekedar percaya,
pengakuan dan ucapan belaka, tapi perlu juga pembuktian dengan sikap dan
perbuatan nyata. Rasulullah Saw., bersabda : ”Iman itu bukanlah sekedar
hayalan, angan-angan; dan bukan pula hiasan (bibir), ucapan dan pengakuan.
Tapi, suatu keyakinan yang tertanam kokoh dalam Qalbu dan dibuktikan dengan
amal perbuatan nyata”.
Dengan demikian, seseorang yang telah menyatakan ”amantubillah”, disamping
mengakui kemandirian Allah dalam segenap ihwal-Nya, juga harus mengiringinya
dengan ”penyerahan” secara total dan utuh kepada-Nya. Ia harus patuh dan tunduk
terhadap kemauan dan kehendak Allah Swt. Ia harus bersedia dan rela melenyapkan
”kebebasan” dirinya dihadapan Allah Swt., dan menghilangkan segenap anggapan
dan perasan bahwa ia sebagai majikan atas dirinya. Ia harus menyukai segala yang
disukai dan diridhoi oleh Allah, meski berlawanan dengan selera dan nafsunya.
Dan ia membenci terhadap segala yang dibenci dan dimurkai oleh Allah, meski
sesuai dengan keinginan dan seleranya.
Walhasil, sikap seorang Mu’min di hadapan Allah Swt., bagaikan seorang
pembantu, pegawai, pelayan atau hamba sahaya yang patuh dan tunduk di hadapan
majikan atau tuannya. Hatinya takut dan bergetar bila Asma-Nya disebut,
keimanannya semakin bertambah bila mendengar firman –Nya dibaca, dan segenap
ihwal hidupnya sepenuhnya diserahkan dan dipasrahkan demi mendambakan
keridhaan-Nya semata. (lihat, QS. Al-Anfal : 2)
Selanjutnya, perinsip yang kedua, yaitu bersikap istiqamah: ajeg, mantab, tetap
teguh dan tegar. Maksudnya, keimanan yang melahirkan ”penyerahan” secara utuh
dan bulat kepada Allah, patuh dan tunduk sepenuhnya kepada kehendak-Nya itu,
harus terus dipertahankan dan dipelihara, dimana saja dalam kondisi apapun juga
di sepanjang hayatnya.
Sebagaimana halnya memberikan ”pengakuan” secara khidmad dan kudus terhadap
kemandirian rubbiyah Allah Swt., itu amat penting, maka keharusan menjaga dan
mempertahankan kesegaran ”pengakuan” tersebut pun amat penting. Dalam kaitan
ini, ”dzikir” atau ingat kepada Allah Swt., di mana dan kapan saja, terus kita
jaga dan kita pelihara. Kesadaran adanya hubungan antara diri dengan Allah
Swt., membuat manusia berupaya senantiasa patuh dan tunduk kepada petunjuk dan
kehendaknya. Kondisi semacam ini harus terus dijaga, dipelihara dan
dipertahankan, jangan sampai ”kesadaran” atau ”dzikrullah” itu memudar atau
melemah, apa lagi lenyap. Karena itu, merupakan motor penggerak dan sekaligus
kendali hidup.
Manakala ”dzikir” atau kesadaran terhadap Allah itu pudar dan melemah, maka
segera saja sifat pembangkangan dan naluri ”kebebasan diri” akan muncul dan
menguasai diri manusia. Pada saat itu, manusia bisa menjadi lupa terhadap Sang
Penciptanya, Allah Swt., dan kekuatan nafsu Syaithaniyah akan mengoper kendali
hidupnya. Kalau kondisi sudah demikian, maka manusia tak ubahnya bagaikan
kendaraan yang sedang melaju cepat sementara sang sopir bersama penumpang
lainnya sudah tidak mampu lagi mengendalikan lajunya kendaraan. Maka, akibat
lebih lanjut bisa dibayangkan: malapetaka bakal mengancam diri dan
kehidupannya.
Al-Qur’an menggambarkan manusia yang dalam kondisi seperti itu ”kal an’aam”,
bagaikan binatang. Karena, mereka sudah tidak lagi mampu membedakan antara yang
hak dan yang batil, antara yang halal dan yang haram, antara yang adil dan yang
zhalim, antara yang diridhoi dan yang dimurkai oleh Allah. ”Bal hum adhalu”,
bahkan mereka lebih sesat lagi dari binatang. Betapa tidak? Karena, manusia
memilik potensi yang demikian hebat dan dahsyat. Yaitu ilmu dan teknologi.
Karena kendali hidup sudah tidak ada, maka semua potensi yang dahsyat itu bisa
dikerahkan untuk memenuhi nafsu syaithaniyahnya yang tidak pernah kenal puas
itu. Kasus pembantaian Nazi di Jerman, bom atom di Hirosima dan Nagasaki,
tergedi Bosnia yang demikian kejam dan keji, juga pembantaian kaum Muslimin di
Afghanistan dan irak yang kini masih berlangsung.
KKN dengan segala modusnya di negeri kita yang mayoritas Muslim ini, juga
akibat dari oknum-oknum yang tidak mampu istiqamah dalam mengendalikan diri.
Semua itu dapat dijadikan contoh bagi pernyataan Allah di atas,”bal hum
adhallu!”
Demikianlah, bila ”dzikrullah” yang merupakan kendali dan kunci istiqamah pudar
dan melemah, bisa berakibat fatal bagi hidup dan kehidupan manusia itu sendiri.
Oleh karena itu, keimanan terhadap Allah Swt., yang mencakup ”pengakuan” dan
”penyerahan” secara total terhadap kehendak dan kemauan-Nya, harus senantiasa
dijaga, dipelihara, dilestaraikan dan dikembangkan. Menjaga, memelihara,
melestarikan dan mengembangsuburkan keimanaan terhadap Allah tersebut itulah
yang dinamakan Istiqamah.
Ramadan dengan segenap fasilitasnya, merupakan situasi dan kondisi yang amat
efektif untuk menanamkan sikap taqwa dan istiqamah.”Kesadaran” dalam kita
beriman dan berislam, secara terus menerus. Puasa Ramadhan mempertautkan semua
kesetiaan dan kepatuhan manusia dan mengarahkannya ke satu pusat wewenang
tersebut, selama kurang lebih dua belas jam setiap hari dalam jarak waktu satu
bulan dalam setiap tahunnya. Dengan demikian, diharapkan kesadaran yang semacam
itu dapat terus berlangsung dan tetap segar sepanjang hayatnya. Meskipun hanya
dua kebutuhan utama, yaitu makan minum dan seksual, yang terpilih untuk
menegakkan sikap taqwa dan istiqamah tersebut, namun tujuan sebenarnya adalah
terbinanya naluri manusia secara keseluruhan. Bahwa selaku hambah Allah,
seorang Mu’min harus memiliki kepekaan yang begitu tinggi dan kesadaran
tanggungjawab yang begitu kuat, sehingga terampil dan terlatih dalam
mengendalikan diri dari setiap yang dibenci dan dilarang oleh Allah Swt., dan
senantiasa siap untuk segera mungkin melaksanakan segala yang diridhai dan
diperintahkan-Nya, betapa pun beratnya kendala dan resiko yang bakal
dihadapinya. Sosok pribadi semacam inilah yang diharapkan oleh ”Penataran /
Pelatihan / Pendidikan Semesta” selama bulan Ramadhan.
”La ’allakum tattaquun”, mudah-mudahan kamu menjadi orang yang benar-benar
bertaqwa. Mampu dan siap menjaga diri, kapan saja dan di mana saja, secara
terus menerus, istiqamah, sepanjang hayatnya. Berhasil atau tidaknya dalam kita
meningkatkan kualitas taqwa selama Ramadhan yang baru saja meninggalkan kita,
sangat ditentukan bagaimana kiprah dan sepak terjang kita dalam menapaki
kehidupan selanjutnya. Rasulullah Saw., bersabda : ”Sekiranya umatku mengetahui
dan dibukakan hijab oleh Allah mengenai hakikat Ramadahan niscaya mereka akan
mengangan-angankan semuah bulan itu dijadikan Ramadhan”. Semoga Allah
senantiasa memberi hidayah dan taufiq-Nya. Amin