Oleh: DR. M
Masri Muadz ,MSc. -
(Penulis buku Paradigma Al-Fatihah)
Kita meng-‘ada’ melaluli fase-fase kehidupan. “Sesungguhnya kamu melalui fase
demi fase (dalam kehidupanmu)” QS Al Insyiqaq (84):19. Kehidupan kita dimulai
dengan keberangkatan, diakhiri dengan kepulangan dan diisi dengan dzikir.
Seperti terlihat dari dzikir kita pada fase-fase kehidupan yang kita
lalui. Karena itu, menjadi manusia adalah proses berzikir dalam tujuh fase
kehidupan.
Pertama, fase berasal dari Allah. Yaitu saat manusia belum diciptakan. Potensi
materi untuk konstruksi tubuhnya masih tersebar dan terurai dalam tanah.
Al-Qur’an menjelaskannya sebagai fase yang belum bisa disebut:
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu, di mana ketika itu ia
(manusia) belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” [QS Al Insan (76):1].
Maka zikir pada fase ini dimulai dengan dzikir makna. Yaitu makna bahwa
seseorang pernah tidak. Dan keberadaannya sekarang, adalah bukti kemahaesaan
Allah yang menghendaki kelahirannya di dunia.
Kedua, fase alam rahim ibu. Yaitu setelah pertemuan sel telur ibu dengan sperma
bapak. Saat mana jiwa diciptakan dan Ruh ditiupkan. Sehingga terwujudlah janin
manusia. Zikir manusia di fase ini dilanjutkan dengan dzikir dialogis
primordial manusia dengan Tuhannya. Al-Quran menjelaskannya:
“Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman:
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul Engkau Tuhan
kami, kami menjadi saksi". Kami lakukan yang demikian itu, agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami bani Adam, adalah
orang-orang yang lengah terhadap kesaksian (dzikir) kami tentang Keesaan Allah
ini", [QS Al-A’raf (7) :172].
Ketiga, fase alam dunia sejak manusia lahir sampai umur baliq. Dzikir pada fase
ini dilanjutkan dengan dzikir triliyuan cell manusia yang terdapat dalam
tubuhnya, dalam wujud gerak berputar bersama gerak berputarnya seluruh sistem
semesta: makro (planet) dan mikro (cell dan quanta). Allah berfirman:
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah.
Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu
sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penyantun lagi
Maha Pengampun” [QS Al-Isra’ (17):44].
Keempat, fase alam dunia sejak umur baliq sampai meninggal dunia. Dzikirullah pada
fase ini dilanjutkan dengan dzikir dengan Al-Fatihah dalam shalat, dan dzikir
dengan Basmalah di luar shalat. Dan penegakan shalat yang khusyu akan mencegah
dari perbuatan keji dan maungkar. Yaitu dzikir di luar shalat dalam wujud amar
ma’ruf nahi mungkar dan akhlak mulia.
Kelima, fase alam barzakh. Yaitu saat manusia sudah berada di alam kubur. Zikir
pada fase ini dilanjutkan dengan dzikir pertanggung jawaban oleh jiwa manusia
dengan menjawab pertanyaan tauhid dari malaikat Mungkar dan Nakir. Rasulullah
SAW bersabda:
“Jika seorang Muslim ditanya dalam kubur, lalu ia bersaksi bahwa tak ada tuhan
yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, maka itu
adalah bukti dari firman Allah Azza Wa Jalla (dalam QS Ibrahim (14): 27). Yang
artinya: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yg beriman dengan ucapan yg
teguh…”
Keenam, fase alam akhirat. Yaitu saat semua orang sudah dibangkitkan dari alam
kubur dan dikumpulkan di padang mahsyar. Dzikir pada fase ini dilanjutkan
dengan dzikir kesaksian di hadapan Allah. Di mana semua orang akan bersaksi
terhadap kemahaesaan Allah, melalui pertanggung jawaban terhadap seluruh
perbuatan yang telah dijalaninya di dunia. Alquran menjelaskan: “Pada hari
(ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa
yang dahulu mereka kerjakan” [QS An Nuur (24):24].
Ketujuh, fase kembali kepada Allah SWT. Yaitu fase terakhir dari seluruh drama kehidupan
manusia. Dzikir manusia pada fase ini akan diakhiri dengan dzikir makna lagi.
Yaitu makna bahwa sesungguhnya, manusia berangkat dari Allah, menjalani hidup
bersama (kehendak) Allah, dan akan kembali kepada Allah. Allah
berfirman:
“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain.
Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti
binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala ketentuan, dan hanya kepada-Nyalah
kamu dikembalikan” [QS Al Qashash (28):88].
Maka sungguh, Allah telah menciptakan dan menumbuhkan hidup kita melalui zikir
dalam tujuh fase kehidupan. Sehingga, berdzikir dalam dan di luar shalat adalah
hidayah Allah yang telah menjelma menjadi sunnataullah. Yaitu pola, substansi,
proses dan makna kehidupan kita.
Sehingga hidup
tanpa zikir dalam shalat dan di luar shalat adalah hidup yang berlawanan dengan
hidayah Allah dan bertentangan dengan sunnatullah. Bila hal ini terjadi, maka
pasti kita akan tegolong orang-orang yang rugi dunia dan akhirat.
Karena itu, marilah kita jadikan dzikir dalam shalat yang khusyu sebagai dasar
dan sikap hidup, dan dzikir di luar shalat (amar ma’ruf nahi mungkar dan akhlak
mulia) sebagai kerangka dan pola hidup kita.
Dan insya Allah, berzikir dalam dan di luar shalat sepanjang hidup di dunia
(fase 4), di samping sesuai dengan hidayah Allah, dan konsisten dengan dzikir
pada 3 fase hidup kita sebelumnya, juga akan menyelamatkan kita dalam tiga fase
hidup kita berikutnya. Semoga.
Allahu a’lamu bishshawab.
Sumber: republika.co.id
Posting Komentar
Posting Komentar