Oleh: Sigit Kamseno, (Redaktur bimasislam.kemenag.go.id dan
kontributor di beberapa Media Islam Online)
Dalam sebuah kesempatan, penulis pernah
berbincang dengan da’i terkenal asal Papua, Ustadz Fadhlan Garamatan mengenai
antropologi masyarakat Papua. Bersama tiga tokoh Papua lainnya, da’i yang
dikenal dengan sebutan “ustadz Sabun” itu bercerita mengenai sejarah kerajaan
Islam di tanah Papua yang diketahui merupakan daerah minoritas Muslim, bahkan
tidak jarang diasosiasikan dengan sebutan daerah Nasrani.
Sebetulnya, hampir semua peneliti bersepakat
bahwa masuknya Islam di Papua diyakini telah ada sebelum agama Nasrani masuk ke
Bumi Cendrawasih itu, namun demikian hingga saat ini belum diketahui secara
pasti kapan hal tersebut terjadi. Di antara para pemerhati, peneliti, maupun keturunan
raja-raja di Raja Ampat, Sorong, Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni-Manokwari
masih terdapat silang pendapat mengenai kapan Islam masuk ke daerah Papua.
Masih sedikitnya penelitian tentang hal tersebut amat mungkin disebabkan
karena secara sosio-geografis tanah Papua terletak pada daerah peripheral Islam
di Nusantara, sehingga studi mengenai Islam di Papua luput
dari kajian para sejarawan lokal maupun asing.
Adalah Toni Victor M. Wanggai, menulis sebuah
penelitian serius mengenai kedatangan Islam di Tanah Papua. Dalam penelitian
yang merujuk kepada data-data historis Portugis, Spanyol, dan Belanda serta
wawancara dengan keturunan raja-raja di Bumi Papua itu, disebutkan bahwa
kedatangan Islam di Papua memang lebih belakangan dari pada islamisasi di
daerah lain di Nusantara.
Dalam penelitiannya, Wanggai menyimpulkan
bahwa Islam masuk ke Papua dibawa oleh kesultanan Bacan di Maluku Utara melalui
kontak perdagangan, budaya dan politik. Selanjutnya pada abad XVI di bawah
Kesultanan Tidore, agama Islam mulai terlembaga ke dalam struktur kerajaan di
Kepulauan Raja Ampat, yakni kerajaan Waigeo, Batanta, Salawati dan Misool. Pada
saat yang sama berdiri juga kerajaan atau ‘pertuanan’ lain di daerah
Fakfak dan Kaimana, antara lain Namatota, Rumbati, dan Patipi. Kerajaan Islam
ini merupakan kerajaan-kerajaan mini yang diberikan semacam otonomi dan
merupakan subordinat dari kesultanan di Maluku.
Sejarah Awal Islamisasi di Papua
Hingga saat ini, diskursus mengenai kapan
Islam masuk ke Papua masih belum usai. Keturunan raja-raja Islam di Papua
sendiri saling mengklaim bahwa Islam lebih awal datang ke daerahnya hanya
berdasarkan tradisi lisan dan tanpa didukung bukti tertulis maupun arkeologis.
Ali Athwa (2004) menyebutkan bahwa masuknya
Islam ke Papua tidak terlepas dari pengaruh kerajaan Majapahit dan kerajaan
lain di Nusantara, ia juga meyakini bahwa jalur masuknya Islam ke Papua adalah
melalui Maluku. Athwa berpendapat bahwa pemuka-pemuka pesisir di Papua memeluk
agama Islam karena pengaruh dari Kesultanan Islam Bacan di Maluku pada
tahun 1520 yang saat itu gencar melebarkan pengaruh ke luar Maluku, terutama ke
Papua.
Sedangkan Frederick Jusuf Onim (2006) memilki
pendapat tak serupa. Menurutnya, agama Islam baru masuk ke daerah Papua pada
abad ke XVII, dan belum memiliki pengaruh apa-apa. Onim juga mengatakan sebuah
fakta bahwa karena pengaruh Islam yang tidak signifikan di Papua itulah,
pulau terbesar kedua di dunia itu acapkali luput dari peta penyebaran Islam
dunia, sekalipun pada abad-abad silam beberapa titik di wilayah Papua telah
bersentuhan dengan Islam.
Wanggai (2009) membuat pemetaan lebih detail.
Menurut Wanggai, ada tujuh versi mengenai kedatangan Islam di Papua: versi
Papua, Aceh, Arab, Jawa, Banda, Bacan, serta Ternate dan Tidore dengan
karakteristik yang berbeda. Menariknya, sekalipun meyakini bahwa Islam baru
masuk ke Papua pada abad ke XVI, versi Aceh yang digambarkan oleh Wanggai
menyebutkan bahwa Islam datang ke Papua sekitar abad XIII, tepatnya pada tahun
1224 dibawa oleh Syekh Iskandar atas titah Syekh Abdurrauf dari Kerajaan
Samudera Pasai yang merupakan keturunan ke-27 dari Ulama Sufi terkenal, Abdul
Qadir al-Jilani.
Mengutip wawancara dengan keturunan Raja
Patipi, Wanggai mengatakan bahwa Iskandar Syah datang ke Papua dengan
membawa Mushaf al-Quran tulisan tangan, kitab hadits, kitab-kitab ilmu tauhid
dan do’a-do’a. Sedangkan tiga kitab lainnya dimasukan ke dalam buluh bambu dan
ditulis di atas daun koba-koba, pohon asli Papua yang mulai punah. Adapula
manuskrip yang ditulis di atas pelepah kayu, mirip manuskrip daun lontara.
Jika penuturan ini benar, maka penyebaran
Islam di Papua sebetulnya satu zaman dengan penyebaran Islam secara massif di
tanah Jawa, terutama pada masa awal-awal dakwah Walisongo pada abad ke XV,
hanya saja penyebaran Islam di Papua memang cenderung lebih lambat dan tidak
semassif seperti di pulau-pulau lain di Nusantara.
Dalam rentang waktu yang jauh, populasi Umat
Islam di Papua baru meningkat secara signifikan setelah provinsi tersebut
bergabung dengan Indonesia pada 1 Mei 1963 disusul dengan masuknya sejumlah
transmigran asal Sulawesi, Jawa dan Maluku yang ditempatkan di Jayapura,
Sorong, Manokwari, Nabire, dan Merauke. Seiring dengan itu bermunculanlah
lembaga-lembaga keagamaan Islam seperti Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama,
Hidayatullah, dan seterusnya.
Peninggalan Islam di Papua
Selajur dengan perkembangan dakwah Islam pada
masa awal di Papua yang berjalan lambat, peninggalan Islam di Papua tidak
sebanyak di daerah lain. Namun demikian bukan berarti hal tersebut menjadikan
Papua sepi dari peninggalan Islam.
Ada beberapa peninggalan sejarah Islam di
Papua, misalnya Masjid Tunasgain di Fakfak Timur, Masjid Tubirseram di
Kabupaten Fakfak, dan yang paling terkenal adalah Masjid Patimburak di Kampung
Patimburak yang sudah berusia ratusan tahun.
Di Desa Darembang Kampung Lama juga terdapat
peninggalan arkeologis berupa tiang-tiang kayu yang dicat. Melihat dari ukiran
dan bentuknya, tiang-tiang kayu ini diyakini sebagai sokoguru sebuah masjid
yang sudah keropos.
(Foto: ALQuran tertua di Fakfak) |
Demikian juga di daerah Fakfak, dalam catatan
Wanggai, terdapat lima buah manuskrip yang diduga berumur 800 tahun berbentuk
kitab dengan berbagai ukuran yang diamanahkan kepada raja Patipi XVI. Manuskrip
tersebut adalah sebuah mushaf tua berukuran 50 cm x 40 cm, bertullis tangan di
atas kulit kayu yang dirangkai menjadi kitab. Empat lainnya adalah kitab
hadits, tauhid, dan kumpulan do’a. Dalam kitab tersebut terdapat sebuah tapak
tangan berupa jari yang terbuka. Penginggalan inilah yang diyakini sebagai
peninggalan Syaikh Iskandar Syah.
Ustadz Fadlan Garamatan sendiri sebagai da’i
asli Papua hingga kini masih aktif menyebarkan dakwah Islam di provinsi paling
timur Indonesia itu. Keturunan Raja Patipi itu membangun sebuah Pesantren di
daerah Bekasi untuk anak-anak Papua dengan pertimbangan bahwa proses pendidikan
akan terasa sulit jika pesantren tersebut dibangun di tanah kelahirannya.
Menurutnya, hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa secara tradisi, para orang
tua di Papua akan selalu memanggil anaknya pulang ke rumah dan tidak akan
pernah membiarkan anaknya menginap di pesantren, tentu saja hal ini
mengakibatkan proses belajar santri yang diharapkan menjadi du’at di tanah
papua itu akan terhambat.
Fakta ini sekaligus menjadi sebuah pelajaran
berharga bagi para da’i di daerah lain bahwa dakwah Islam di berbagai tempat
memang memiliki corak dan karakter yang khas sesuai dengan kultur lokal
setempat.
(Sumber: bimasislam.kemenag.go.id)
KERAJAAN ISLAM DI PAPUA:
Berikut daftarnya Kerajaan Islam di Papua :
Kerajaan Waigeo[1]
Kerajaan Misool/Lilinta (marga Dekamboe)[2]
Kerajaan Salawati (marga Arfan)[3]
Kerajaan Sailolof/Waigama (marga Tafalas)[4]
Kerajaan Fatagar/(marga Uswanas)
Kerajaan Rumbati (marga Bauw)
Kerajaan Atiati (marga Kerewaindżai)
Kerajaan Sekar (marga Rumgesan)[5]
Kerajaan Patipi[6]
Kerajaan Arguni
Kerajaan Wertuar (marga Heremba)
Kerajaan Kowiai/kerajaan Namatota
Kerajaan Aiduma
Kerajaan Kaimana
(Sumber Wikipedia)
Kerajaan Waigeo[1]
Kerajaan Misool/Lilinta (marga Dekamboe)[2]
Kerajaan Salawati (marga Arfan)[3]
Kerajaan Sailolof/Waigama (marga Tafalas)[4]
Kerajaan Fatagar/(marga Uswanas)
Kerajaan Rumbati (marga Bauw)
Kerajaan Atiati (marga Kerewaindżai)
Kerajaan Sekar (marga Rumgesan)[5]
Kerajaan Patipi[6]
Kerajaan Arguni
Kerajaan Wertuar (marga Heremba)
Kerajaan Kowiai/kerajaan Namatota
Kerajaan Aiduma
Kerajaan Kaimana
(Sumber Wikipedia)
Sebagai kerajaan tangguh masa itu, kekuasaan
Kerajaan Majapahit meliputi seluruh wilayah Nusantara, termasuk Papua. Beberapa
daerah di kawasan tersebut bahkan disebut-sebut dalam kitab Negarakertagama,
sebagai wilayah Yurisdiksinya. Keterangan mengenai hal itu antara disebutkan
sebagai berikut:
"Muwah tang i Gurun sanusanusa mangaram ri Lombok Mirah lawan tikang i
Saksakadi nikalun kahaiyan kabeh nuwati tanah i bantayan pramuka Bantayan len
luwuk teken Udamakatrayadhi nikang sanusapupul".
"Ikang sakasanusasanusa Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang i [ng]
Salaya Sumba Solot Muar muwah tigang i Wandan Ambwan Athawa maloko Ewanin ri
Sran ini Timur ning angeka nusatutur".
Dari keterangan yang diperoleh dalam kitab klasik itu, menurut sejumlah ahli
bahasa yang dimaksud "Ewanin" adalah nama lain untuk daerah
"Onin" dan "Sran" adalah nama lain untuk
"Kowiai". Semua tempat itu berada di Kaimana, Fak-Fak. Dari
data tersebut menjelaskan bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah daerah
di Papua sudah termasuk wilayah kekuasaan Majapahit.
Menurut Thomas W. Arnold : "The Preaching of Islam”,
setelah kerajaan Majapahit runtuh, dikalahkan oleh kerajaan Islam Demak,
pemegang kekuasan berikutnya adalah Demak Islam. Dapat dikatakan sejak zaman
baru itu, pengaruh kerajaan Islam Demak juga menyebar ke Papua, baik langsung
maupun tidak.
Dari sumber-sumber Barat diperoleh catatan bahwa pada abad ke XVI sejumlah
daerah di Papua bagian barat, yakni wilayah-wilayah Waigeo, Missool, Waigama,
dan Salawati, tunduk kepada kekuasaan Sultan Bacan di Maluku. Catatan serupa tertuang dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh Periplus
Edition, di buku “Irian Jaya”, hal 20 sebuah wadah sosial milik misionaris
menyebutkan tentang daerah yang terpengaruh Islam. Dalam kitab Negarakertagama,
di abad ke 14 di sana ditulis tentang kekuasaan kerajaan Majapahit di Jawa
Timur, di mana di sana disebutkan dua wilayah di Irian yakni Onin dan Seran
Bahkan lebih lanjut dijelaskan: Namun demikian armada-armada perdagangan yang
berdatangan dari Maluku dan barangkali dari pulau Jawa di sebelah barat kawasan
ini, telah memiliki pengaruh jauh sebelumnya.
....Pengaruh ras austronesia dapat dilihat dari kepemimpinan raja di antara
keempat suku, yang boleh jadi diadaptasi dari Kesultanan Ternate, Tidore dan
Jailolo. Dengan politik kontrol yang ketat di bidang perdagangan pengaruh
kekuasaan Kesultanan Ternate di temukan di raja Ampat di Sorong dan di seputar
Fakfak dan diwilayah Kaimana
Sumber cerita rakyat mengisahkan bahwa daerah Biak Numfor telah menjadi bagian
dari wilayah kekuasaan Sultan Tidore.
Sejak abad ke-XV. Sejumlah tokoh lokal, bahkan diangkat oleh Sultan Tidore
menjadi pemimpin-pemimpin di Biak. Mereka diberi berbagai macam gelar, yang
merupakan jabatan suatu daerah. Sejumlah nama jabatan itu sekarang ini dapat
ditemui dalam bentuk marga/fam penduduk Biak Numfor.
Kedatangan Orang Islam Pertama
Berdasarkan keterangan di atas jelaslah bahwa, masuknya Islam ke Papua, tidak
bisa dilepaskan dengan jalur dan hubungan daerah ini dengan daerah lain di
Indonesia. Selain faktor pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit, masuknya Islam
ke kawasan ini adalah lewat Maluku, di mana pada masa itu terdapat kerajaan
Islam berpengaruh di kawasan Indonesia Timur, yakni kerajaan Bacan.
Bahkan keberadaan Islam Bacan di Maluku sejak tahun 1520 M dan telah menguasai
beberapa daerah di Papua pada abad XVI telah tercatat dalam sejarah. Sejumlah
daerah seperti Waigeo, Misool, Waigama dan Salawati pada abad XVI telah
mendapat pengaruh dari ajaran Islam. Melalui pengaruh Sultan Bacan inilah maka
sejumlah pemuka masyarakat di pulau-pulau tadi memeluk agama Islam, khususnya
yang di wilayah pesisir. Sementara yang dipedalaman masih tetap menganut faham
animisme.
Thomas Arnold yang
seorang orientalis berkebangsaan Inggris memberi catatan kaki dalam kaitannya
dengan wilayah Islam tersebut: “…beberapa suku Papua di pulau Gebi antara
Waigyu dan Halmahera telah diislamkan oleh kaum pendatang dari Maluku"
Tentang masuk dan berkembangnya syi'ar Islam di daerah Papua, lebih lanjut
Arnold menjelaskan: “Di Irian sendiri, hanya sedikit penduduk yang memeluk
Islam. Agama ini pertama kali dibawa masuk ke pesisir barat [mungkin
semenanjung Onin] oleh para pedagang Muslim yang berusaha sambil berdakwah di
kalangan penduduk, dan itu terjadi sejak tahun 1606. Tetapi nampaknya
kemajuannya berjalan sangat lambat selama berabad-abad kemudian..."
Bila ditinjau dari laporan Arnold tersebut, maka berarti masuknya Islam ke
daerah Papua terjadi pada awal abad ke XVII, atau dua abad lebih awal dari
masuknya agama Kristen Protestan yang masuk pertama kali di daerah Manokwari
pada tahun 1855, yaitu ketika dua orang missionaris Jerman bernama C.W.
Ottow dan G.J. Geissler mendarat dan kemudian menjadi
pelopor kegiatan missionaris di sana. (Ali Atwa, penulis buku “Islam Atau
Kristen Agama Orang Irian (Papua).”
Sumber : papuabaratnews.com
Wallahu a’lam
Posting Komentar
Posting Komentar